Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang R.M. Panji Sosrokartono

6 April 2021   21:30 Diperbarui: 26 April 2021   09:53 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artikel ini saya tayangkan sesuai dengan yang saya janjikan juga dalam artikel saya "Kebelumtahuan yang Dipamer-pamerkan".

Salah seorang tokoh besar dalam sejarah Indonesia adalah Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak Raden Ajeng Kartini. Karena beliau sudah meninggal dunia pada 1952, maka saya pribadi merasa tergerakkan untuk menyegarkan memori publik, utamanya generasi now, untuk bisa mengenal dan mengapresiasi kebesaran putra terbaik bangsa ini, terlepas dari kenyataan bahwa sudah semakin banyak upaya untuk melakukan hal ini, termasuk "Wikipedia" dan "tirto.id"

Di sini saya hanya akan berbagi pengalaman dan tambahan pengetahuan yang saya dapatkan langsung dari naratif seorang ibu (yang juga seorang tokoh besar), yang masih dalam garis keturunan beliau.

Saya memulai dengan menginformasikan bahwa Sosrokartono pernah digelari "Si Jenius dari Timur," oleh orang Belanda: "De Javanese Prins" (Sang Pangeran Jawa), Mandor Alif, Dokter Air Putih, dll, dan beliau adalah seorang poliglot.

Menjelang bulan Ramadhan 2005, ketika oleh K.R.T. Abdulkadir Yudhokusumo saya diusulkan untuk diangkat menjadi kerabat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dari Trah Hamengkubuwono V* dan ikut nyadran (nyekar, ziarah) ke makam para Sultan Mataram Islam di Imogiri dan Kotagede, saya sempat berkenalan dengan beberapa keturunan kaum ningrat dengan segala illustrious past seperti kata almarhum Ivan Burnell, termasuk ibu Sukadiah Pringgohardjoso (inilah ibu yang saya maksudkan di atas), mantan Duta Besar RI untuk Denmark (menjabat pada 1981-1984), dari keraton Jepara, yang menjadi pembina Yayasan Pendidikan Anak Sehat Sosrokartono di Cengkareng Barat, Jakarta.

Dalam beberapa kesempatan saya berdiskusi dengan ibu Soekadiah dan mendapat banyak pencerahan mengenai berbagai aspek budaya dan sejarah Jawa. 

Ibu Soekadiah tampaknya juga sangat antusias berbincang-bincang dengan saya dan ketika kami sampai pada pembahasan tentang Sosrokartono dan falsafah Sugih Tanpa Bandha-nya, beliau sempat mengatakan: "Wah, nak Johan ini sangat mirip dengan eyang Sosro (sapaan beliau), apa-apa mau dipelajari."

Berikut ajaran hidup bahagia "Sugih Tanpa Bandha" yang pernah ditembangkan oleh mas Sujiwo Tejo dengan sangat merdunya.

Di sini saya tidak menyertakan aksara Jawanya karena saya merasa kompetensi saya belum cukup:

Sugih tanpa bandha (Kaya tanpa harta)
Digdaya tanpa aji (Sakti tanpa ilmu bela diri)
Nglurug tanpa bala (Menyerang tanpa pasukan)
Trimah mawi pasrah (Menerima dengan pasrah)

Suwung pamrih tepi ajrih  (sepi dari rasa pamrih jauh dari rasa takut)
Langgeng tan ana susah  (Selamanya tiada perasaan susah)
tan ana bungah (tiada perasaan gembira)
Anteng manteng sugeng jeneng (Tenang dalam menghadapi sesuatu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun