Mohon tunggu...
Jodhi Yudono
Jodhi Yudono Mohon Tunggu... -

beta cuma pengembara yang berjalan dengan hati, bekalku cuma kasih sayang yang kubagi untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sepasang Kelelawar Kawin di Pagi Hari

26 Mei 2011   13:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:11 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lampu cafe telah dipadamkan. Tapi Juha masih di sana bersama Vel, Lan, An, dan bartender yang masih merapikan botol-botol dan gelas-gelas pada tempatnya. Lan yang sudah kecapekan setelah menenggak bergelas-gelas wine, kini menyandarkan tubuhnya di dada Vel. Sementara Juha masih setia mendengar keluh kesah An soal calon suami pilihan orang tuanya. Begitulah senantiasa jika akhir pekan tiba pada sebuah masa, ketika Juha menjadi bagian dari malam-malam cafe X di kawasan Jakarta Selatan. Pun pada malam itu, sebuah malam istimewa buat An, karena esoknya ia harus mengambil keputusan: menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya, atau melajang sepanjang masa. "Kau tahu, Ju, usiaku sudah tak muda lagi. Masa untuk menikah saja masih diurus orang tua," kata An. "Itu artinya orang tuamu sayang benar sama kamu," Juha menyahut. "Tapi aku kan bukan kanak-kanak lagi, Ju." "Orang tuamu tahu persis tentang itu." "Trus?" "Susah kalau kamu melulu melihat dari kacamatamu." "Tapi kenapa juga orang tuaku tak melihat dari kacamataku." "Buatmu barangkali ini soal yang sederhana. Bahwa cinta tak bisa dipaksakan. Tapi buat orang tuamu, ini persoalan kebanggan, kewibaan, bahkan mungkin persoalan sorga dan neraka." "Ngaco kamu, Ju." "Aku serius. Orang tuamu tak ingin gagal sebagai orang tua. Gagal memberi kebahagiaan kepada keturunan adalah beban yang akan terbawa sampai ajal. Kau tahu bagaimana rupa akibat orang tua yang frustasi? Itulah derita dunia akhirat." "Udah ah, Ju. Mending kamu nyanyi buat aku. Please, hibur aku, Ju." Juha segera memainkan sebuah musikalisasi puisi karya Sapardi Djoko Damono berjudul Restoran. Denting piano dan suara Juha yang lirih, segera menghanyutkan An. "Aku memesan rasa sakit yang tak putus, dan nyaring lengkingnya, memesan rasa lapar yang asing itu..." Ketika Juha mengakhiri nyanyiannya, An tak kuasa menahan tangisnya yang sedari tadi ditahannya. "Mulai deh. Juha sih pake nyanyi sedih segala. Mesti ganti suasana nih kayaknya. Cabut yuk," ujar Lan sambil mengajak Vel, An dan Juha. Vel beralasan hendak mengantar anak lanangnya pagi-pagi benar. Sedang An, mengaku mesti mempersiapkan diri menghadapi masa depannya di hadapan orang tuanya. Maka jadilah Juha dan Lan jalan mengarungi dini hari kota Jakarta. Pada dini hari begini, cuma ada sedikit tempat yang masih hidup. Wilayah Kota, Daan Mogot, dan sebagian kecil di Jakarta Utara. Tapi sepasang lelaki dan perempuan yang hidupnya mirip kelelawar ini memilih sebuah tempat yang tak seberapa ramai di Jalan Cikini Raya. Juha memacu mobil milik Lan menembus dini hari melintas Sudirman dengan kecepatan tinggi. Seekor kucing melintas, hampir saja membuat oleng setelah mobil yang mereka kendarai menghindar. "Huh! Kucing sialan!" Juha menggerutu. "Tabarak aja lagi," Lan menyahut. Entah siapa yang mula pertama menyebar tahayul itu, sehingga sebagian masyarakat Indonesia seperti dikutuk kesialan jika menabrak kucing. "Kamu takut sial kalau menabrak kucing, Ju?" Lan bertanya. "Gak. Kasihan aja." Di sebuah hotel kecil yang di dalamnya terdapat coffee shop dan diskotek di bilangan Cikini Raya, keduanya terdampar menghabiskan sisa malam. Juha yang belum bermimpi bakal mendapat istri Kokom, dan Lan yang masih nona kala itu, segera memesan draft bir untuk mengusir kantuk yang mulai mengambang di pelupuk mata. "Ngomongin apa tadi sama An, Ju?" Lan bicara setelah meneguk birnya dua kali. "Pernikahan." Lan tertawa, Beberapa lelaki Arab yang duduk di seberang meja menoleh ke arah keduanya. Tapi nona Lan, mana peduli. Ia masih tertawa geli mendengar kalimat pernikahan yang meluncur dari mulut Juha. "Lo yang mau nikah, Ju?" Lan bertanya setelah habis sisa tawanya. "An disuruh nikah sama orang tuanya." "Kirain kamu. Ha ha ha." "Trus kenapa memangnya kalau aku." "Kalau lo...ha ha ha, ini berita paling menggelikan yang pernah aku dengar dari mulutmu." Pernikahan, bagi Lan saat itu memang cuma dianggap sebagai basa-basi pergaulan antara manusia laki-laki dan manusia perempuan agar dianggap lebih berbudaya. Selebihnya, toh cuma berujung pada persoalan ekonomi dan ranjang. "Tapi lucu juga kali ya kalau kawin," ucap Lan tiba-tiba. "Apanya yang lucu?" "Gue bisa bunting, trus punya anak, hi hi." "Coba aja si Val dirayu biar ngawinin elo." "Ngaco lo. Sekejam-kejamnya gue, gak tega kalau sampai merebut laki orang." "Masih waras juga rupanya." "Sialan lo." Setelah sama-sama menenggak tandas bir di gelas masing-masing, keduanya terbahak. Para lelaki Arab masih di sana, di seberang meja Juha dan Lan. Mereka keheranan dengan sepasang lelaki dan perempuan yang kian berbuih-buih pembicaraannya oleh uap alkohol. "Lo pernah ngebayangin suatu saat nanti bakal nikah, Ju?" Juha menggeleng. Sebab memang tiada gambaran yang menyenangkan dari cerita kawan-kawan Juha maupun Lan yang sudah menikah, kecuali keluh kesah atas pasangannya masing-masing. "Gue juga loh, Ju. Pengalaman teman-teman kita benar-benar membuatku takut untuk menikah." "Kita salah pilih teman barangkali." "Mungkin." "Nyatanya banyak juga yang sukses dalam perkawinan." "Tapi tak sedikit yang bercerai, bukan?" "Gue punya jurus untuk menghindari perceraian." "Bagi dong resepnya, siapa tahu gue nikah sebentar lagi." "Elo mesti jadi orang kaya dan saleh." "Gawat bener." "Kenapa?" "Rasa-rasanya gue belum bisa. Tiap bulan penghasilan gue masih sering tekor. Tiap malam gue juga masih sering keluyuran." "Sama, gue rasanya juga belum siap buat nikah." Surya telah merembang di ufuk timur. Sepasang kelelawar berjenis kelamin laki dan wanita itu makin tenggelam dalam buih alkohol. Lalu tiba-tiba Lan bersuara,"Ju..." "Hmm..." "Kawin yuk!" Suara Lan mulai parau. "Kawin apa nikah?" "Apa bedanya?" "Udah siap nih?"Lan tersenyum kecut. Sepasang kelelawar itu pun beranjak menuju petugas resepsionis yang masih terkantuk-kantuk dengan kepala bertelekan tangan di atas meja. Sambil sempoyongan keduanya menuju kamar hotel setelah dengan malas-malasan petugas resepsionist memberikan sebuah kunci kamar. Klik! Selanjutnya, entah apa yang terjadi antara Juha dan Lan di sana, di balik pintu kamar itu. Pagi telah sempurna tiba. jodhi yudono

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun