Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

UU Pers sebagai Lex Specialis, Belum Banyak Dipahami

19 Maret 2011   05:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:39 2286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbedaan landasan pijak untuk penyelesaian kasus-kasus delik pers, termasuk pencemaran nama baik, penghinaan, penghasutan, fitnah yang diakibatkan oleh suatu pemberitaan- menunjukkan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih menganut politik dua muka atau standar ganda. Di satu pihak,aparat penegak hukum masih memberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai acuan untuk menangani perkara aduan berkait pemberitaan media. Akan tetapi di pihak lainnya, ada aparat hukum (sebagian) yangmemang sudah benar-benar memahami bahwa kasus-kasus delik pers dapat diselesaikan melalui landasan pijak yaitu UU No.40 tahun 1999 tentang Pers. Hal ini dilakukan mengingat UU Pers tersebut merupakan lex specialis (pengecualian) sehingga pekerja jurnalistik dapat melangsungkan tugasnya tanpa harus dibayang-bayangi tekanan dan rasa takut akan dijerat masuk penjara.

Dilihat dari tahun kelahirannya, UU Pers ini sudah berusia 10 tahun lebih, namun masih banyak pihak (termasuk aparat penegak hukum), juga masyarakat luas belum memahami semangat dan arti penting serta isi undang-undang secara menyeluruh. Akibat dari kondisi demikian, tidak sedikit delik aduan yang berkait dengan pemberitaan media/pers kemudian digiring ke arah penyelesaian hukum melalui landasan pijak KUHP. Apa benar? Iya, buktinya pemanggilan terhadap pekerja media/wartawan masih saja berlangsung. Akibat lebih jauh terhadap persoalan tersebut dan jika tidak ada kontrol yang kuat maka beberapa kasus delik pers belum dapat dilakukan secara konsisten karena putusan hakim akan selalu berbeda di suatu tempat dengan tempat yang lain.

Mengapa hal itu selalu terjadi? Beberapa faktor perlu dicermati, di antaranya adalah mekanisme hak jawab dan hak koreksi kurang mendapat perhatian. Dalam ketentuan hukum pers sebenarnya sudah disebutkan, apabila seseorang atau sekelompok orang merasa tidak berkenan atas suatu pemberitaan menyangkut diri/kelompoknya- diperbolehkan mengajukan keberatan melalui hak jawab atau hak koreksi, dan pers dalam hal ini wajib melayani hak-hak tersebut (lihat: Pasal 5 UU Pers).

Namun mengingat tidak optimalnya implementasi serta pemahaman hak jawab dan hak koreksi, pihak pengadu kemudian menggeneralisir bahwa delik pers dapat dimeja hijaukan berdasar KUHP. Sangat memrihatinkan lagi bilamana aparat hukum yang menangani kasus dan seharusnya mengerti landasan pijak apa yang akan digunakan untuk proses peradilannya justru sependapat dengan kemauan pihak penggugat. Pada hal para penegak hukum yang notabene pakar di bidang yuridis mestinya paham bahwa kasus-kasus mana yang dapat dikategorikan sebagai delik pidana dan mana yang masuk pada delik pers. Dibutuhkan kecerdasan atau kecermatan dan ketepatan untuk menyelesaikan setiap kasus yang dihadapi. Jika kasusnya berkait dengan pemberitaan media/pers, sudah semestinya diselesaikan melalui UU Pers, karena sifatnya lebih khusus (lex specialis).

Faktor lain juga layak diungkap kenapa politik dua muka atau standar ganda masih ditemui, yaitu karena belum efektifnya sosialisasi UU Pers kepada khalayak luas. Gaung kampanye pemasyarakatan UU Pers sejak diundangkan pada tahun 1999 ternyata belum menyentuh semua lapisan masyarakat. Termasuk sosialisasi kepada penguasa maupun para aparat penegak hukum belum optimal, padahal lontaran kritik dan opini sudah banyak tertuju kepada mereka ketika menghadapi kasus-kasus jurnalistik. Kalau saja para aparat penegak hukum masih mempunyai persepsi yang berbeda, lantas bagaimana dengan masyarakatnya?

Kegigihan Dewan Pers beserta para awaknya yang selama ini terus bersemangat dan secara marathon melangsungkan sosialisasi UU No.40 tahun 1999 tentang Pers ke seluruh wilayah di tanah air, khususnya kota-kota besar atau kota provinsi hingga nantinya menyentuh segala lapisan masyarakat - merupakan upaya mulia dalam rangka memahamkan arti penting keberadaan pers di tengah masyarakat beradab. Dewan Pers akan selalu menjaga kemerdekaan pers, dan untuk memperjuangkan kemerdekaan pers memang memerlukan komitmen sertakerja keras dan cerdas.

Sementara itu, manakala berkurangnya kepercayaan masyarakat pada mekanisme peradilan dan maraknya gugatan diajukan oleh pihak yang tidak puas atas pemberitaan pers ke pengadilan, Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) telah pula membentuk Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Kemerdekaan Pers (BBHA-KP). Badan ini ikut serta menyosialisasikan cara-cara menghadapi kasus-kasus delik pers melalui mekanisme bantuan hukum kepada perusahaan pers (media massa) maupun advokasi kepada masyarakat luas agar menjunjung tinggi kemerdekaan pers. Sosialisasi UU Pers secara utuh, menyeluruh dan kontinyu perlu secara terus menerus dilakukan dengan harapan dapat mendorong serta menumbuhkan kesadaran yang tinggi bagi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan.

Guna mengefektifkan sosialisasi UU Pers, kiranya dibutuhkan kerjasama yang solid di antara instutusi-institusi komunikasi dan pihak terkait di negeri ini. Melalui tekad dan niatan yang bulat, mengumandangkan kampanye nasional untuk mendukung UU Pers menjadi lex specialis terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan perundang-undangan lain yang berpotensi dapat membelenggu kemerdekaan pers. Melalui langkah demikian, selanjutnya dapat dibangun kesamaan persepsi maupun pemahaman atas pentingnya kemerdekaan pers dalam rangka membangun demokrasi, menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia sebagaimana tuntutan reformasi di negeri ini.Kemerdekaan pers memang masih terus diperjuangkan!

JM (19-3-2011).

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun