Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sisi Lain dalam Menyikapi Kenaikan Harga BBM

16 September 2022   22:11 Diperbarui: 17 September 2022   03:00 1236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama berselang, tepatnya sejak tanggal 3 September 2022 pukul 14.30 WIB pemerintah secara resmi (disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo), mengumumkan penyesuaian (baca: kenaikan) harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Harga per liter pertalite Rp 10.000 (sebelumnya Rp 7.650), Solar subsidi Rp 6.800 (sebelumnya Rp 5.150), Pertamax Rp 14.500 (sebelumnya Rp 12.500).

Dampak atas peristiwa tersebut, tentunya akan merembet pada harga-harga barang/kebutuhan hidup yang ikutan naik, daya beli rakyat yang berpenghasilan rendah menurun seiring inflasi, terutama mereka yang tergolong "wong cilik" perlu mendapat perhatian sekaligus bantuan.

Demikian halnya dampak atas pemberitaan BBM itu, menyusul respons dari beberapa kalangan berupa wacana dan juga unjuk rasa/demonstrasi di sejumlah tempat yang cenderung kontra terhadap keputusan pemerintah tersebut.

Itu semua bisa dipahami, dihormati sekaligus dihargai, mengingat cara pandang yang beragam sehingga kontroversi antar kepentingan di alam demokrasi pun merupakan hal wajar, sepanjang tidak anarkis.

Nah, keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM seperti disebut di atas telah pula disertai alasan (disebutkan berulang kali) bahwa anggaran subsidi dan kompensasi BBM di negeri ini terus membengkak pada tahun 2022, meningkat tiga kali dari yang tadinya RP 152,5 trilyun menjadi Rp 502,4 trilyun. Bahkan diperkirakan akan terus meningkat sehingga keputusan sulit dan memang tidak popular itulah yang ditempuh.

Terhadap keputusan yang telah dilakukan, barang tentu pemerintah juga telah menyadari bahwa dampak atas kenaikan harga BBM terutama mereka yang tergolong "wong cilik" tak terkecuali pelaku UMKM (yang baru saja bangkit diterpa bencana non-alam Pandemi Covid-19) akan berpengauh terhadap stabilitas sosial terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupannya.

Terjadinya kemiskinan struktural, yang disebabkan sebuah keputusan tersebut kemudian diantisipasi untuk meminimalisirnya, yaitu dengan menggulirkan bantuan dalam segala bentuk (BLT BBM, BLT UMKM, Bantuan Subsidi Upah/BSU, Bansos dan sejenisnya) berkerja sama dengan pemerintah daerah hingga jajaran pemerintah kabupaten/kota di tingkat bawah.

Persoalannya kemudian, akankah pengguliran bantuan dalam segala bentuknya itu hanya diberikan sampai dengan batas bulan Desember 2022?

Jika memang sampai Desember 2022 mereka yang dibantu benar-benar bangkit dan semakin lancar aktivitas dan usahanya, ya syukurlah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun