Kebiasaan dalam menghadapi masalah dan mencari solusi hanya mengandalkan angka banyak ditemui bahkan cenderung dilakukan di hampir semua bidang. Tak terkecuali para pengambil keputusan sering memaparkan sejumlah angka sebagai dasar pembenaran statemen yang disampaikan untuk meng-klaim keberhasilan atau kesuksesan kerjanya kepada publik.
Contoh lain di tengah maraknya "bisnis pendidikan" belakangan ini seringkali dikemukakan  bahwa perguruan tinggi atau universitas X telah berhasil meluluskan sekian ribu sarjana (S1 dan S2), sekian ratus doktor -- namun tak pernah disentuh persoalan prestasi yang telah diraih oleh para alumnusnya tersebut.
Bukankah hal itu hanya membincang output, tanpa banyak dikemukakan atau dikaitkan dengan outcome-nya?
Hal yang sama masih sering ditemui bahkan belum lama berselang/belum lepas dari ingatan bahwa atas nama big data disebutkan sejumlah 100 jutaan lebih netizen atau warganet mendukung Pemilu 2024 ditunda dan tiga periode jabatan presiden.
Apakah itu semua sudah sesuai dengan faktanya? Apakah juga sesuai dengan supremasi hukum sebagaimana salah satu tuntutan reformasi?
Nah, pembenaran kuantifikasi seperti disebut di atas merupakan secuplik contoh yang secara tidak disadari masih terus ditemui atau cenderung merasuk, mewarnai keseharian kita.
Di tengah kehidupan ditandai dinamika sosial yang terus bertumbuh seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat kini sudah semakin cerdas, sehingga tidak semua persoalan maupun masalah yang kita hadapi selalu mengandalkan kuantitas, diselesaikan dengan cara "memberhalakan" angka-angka.
Dalam perkataan lain, besaran jumlah/angka bukanlah selalu menunjukkan keberhasilan suatu program, apalagi menjadikan suatu pembenaran. Mengingat pula bahwa yang jumlahnya kecil/sedikitpun jika dielaborasi lebih jauh justru sesungguhnya memiliki makna.
Celakanya jika pembenaran kuantifikasi ini masih bertumbuh-kembang di dalam kehidupan sosial politik maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan-jangan nantinya akan terjadi apa yang disebut tirani terhadap minoritas. Sebagai negara penganut paham demokrasi, ini layak dihindari!
Demikian sekadar berbagi opini pekan ini.
JM (22-5-2022).