Nah kembali cerita sore tadi, setelah kemarinnya keliling beberapa kios di bagian dalam pasar, tak ada barang yang saya butuhkan untuk dibeli, maka perlu bergeser ke lokasi lapak lain.
Malahan di lapak/selasar depan pasar ada beberapa barang yang memang cocok untuk saya beli. Ada obeng/drei, palu, kunci busi, ada juga lampu senter kecil, sekalian beli wadah untuk menyimpannya.
Dan setelah ngobrol dengan penjualnya, beberapa saat kemudian tawar menawar, terjadilah harga damai, sekaligus saya bayar untuk melarisi barang klitikan tersebut.
Total harga barkas yang saya beli tersebut cukup dengan mengeluarkan selembar "daun merah" alias uang 100 ribu, masih ada kembalian 5 ribu, lumayan murah menurut saya.
Di sinilah kelebihan bilamana kita mau, menyempatkan waktu untuk melakukan seni ngobrol, dan tidak perlu gengsi berbaur mengunjungi "pasar yang merakyat" sekalian bertransaksi jual-beli di sana.
Alih-alih jika dibandingkan dengan harga barang baru di toko besi/bangunan, harga di lapak klitikan yang saya beli itu jauh lebih murah walaupun tergolong barkas. Yang penting barangnya standar kualitas, berfungsi, dan masih layak digunakan. Begitulah, Lur.
Walaupun saya kadang kala berkunjung ke toko modern di perkotaan, tidak berarti saya melupakan "wong cilik" yang juga sebagai saudara kita, menggelar usahanya saban hari, berupaya mengais rezeki demi keluarganya, menggelar barang klitikan.
Seperti halnya sore tadi saya sempat ngobrol bersama pak Burhan yang sebagian barkasnya telah saya tukar dengan uang.
Beberapa patah kata menarik yang beliau sampaikan, saat berbincang santai di antaranya:
"Saya berjualan klitikan ini berkeliling di setiap pasaran, hanya melayani masyarakat kelas bawah."