Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Program Televisi "Dikemas Alay" dan Minim Nilai Edukasi

30 Maret 2018   02:53 Diperbarui: 30 Maret 2018   10:46 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyaknya artis berakting ngalay di layar TV, seperti  "Joget-joget naik ke atas kursi, ditendang kursinya. Ngata-ngatain orang pakai aib dibuka-buka" (Kompasiana, 19 Maret 2018) atau dalam kata lain bisa juga masalah kecil dalam sebuah keluarga diungkap habis-habisan tanpa memerhatikan wilayah privasi -- turut menghiasi program-program TV yang kerap ditonton banyak pemirsa.

Tak hanya itu, pemberitaan atas peristiwa yang banyak menyentuh tragedi kemanusiaan seperti liputan bencana alam yang menelan banyak korban, seringkali dikemas "sedemikian rupa" sehingga kerap mengundang respons karena kurang sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Realitas media dalam hal ini tidak lebih merupakan rekonstruksi peristiwa (bukan representasi) sehingga dampaknyapun akan menuai kontroversi di kemudian hari.

Sudah barang tentu kontroversi dapat digambarkan dengan munculnya berbagai keresahan, kegelisahan, atau mungkin juga mengundang sorotan khalayak di mana-mana, karena program/siaran TV dinilai kurang mendidik (baca: tidak mencerahkan). Bahkan tidak sedikit respons muncul dalam sorotan wacana berkelanjutan khusus membahas kualitas siaran TV yang semakin menurun, selera rendah, kampungan, norak (alay) -- selanjutnya menjadi keprihatinan bersama.

Ada bebera hal yang mungkin perlu dipahami mengenai "sepak terjang" medium TV belakangan ini, terutama program-program tayangan TV swasta atau komersial. Itu semua sesungguhnya tidak terlepas dari perkembangan sejarah seiring dinamika sosial politik serta regulasi yang menyertainya.

Kalau boleh dirunut sejarahnya, globalisasi di negeri ini yang sudah mulai terasa sejak awal tahun 1990-an ditandai lahirnya TV swasta sebagai pendatang baru meramaikan atmosfir pertelevian seperti RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, AN-TV, disusul lainnya. Masih pula lekat dalam ingatan bahwa MacDonald yang hadir tahun 1991 di Indonesia menunjukkan globalisasi sudah merambah saat itu. Disusul produk-produk lain dengan "cap global" yang berarti proses internasionalisasi ("MacDoladisasi") sedang berlangsung.

Lebih lanjut dalam perkembangannya, lahirnya era reformasi 1998 secara langsung atau tidak -- juga ikut mengubah tatanan termasuk regulasi media. Lahirnya UU Pers 1999, UU Penyiaran 2002, sangat mewarnai pertumbuhan dalam arti kepemilikan media, longgarnya izin telah mendorong tumbuhnya media bak jamur di musim hujan. Demikian halnya untuk media penyiaran, ada lembaga penyiaran publik, penyiaran swasta/komersial, penyiaran komunitas, dan penyiaran berlangganan.

Salah satu implikasinya, kehadiran lembaga penyiaran swasta (baca: komersial) semakin mendapatkan tempat. Media massa ikutan arus globalisasi dan semakin meng-industri sehingga kebijakan politik-ideologi media mengalami pergeseran fungsi. Sebagai perusahaan/lembaga komunikasi komersial -- perspektif ekonomi politik media menjadikan konsep yang tentunya bersesuaian dengan peluang untuk tidak menyia-nyiakan "ceruk pasar" di tengah maraknya penyelenggaraan siaran TV Swasta/Komersial guna meraih pangsa pendengar/pemirsa melalui sajian info yang dikemas semenarik mungkin, yang pastinya akan berkait dengan perolehan "kue iklan."

Bukan tidak mungkin, program media massa modern tak terkecuali tayangan TV swasta yang telah terbawa arus globalisasi ini dalam praktek siarannya akan membentuk homogenisasi, konsumeristik, dan individualistik, yang disajikan secara bebas, terbuka, bahkan cenderung vulgar. Sedangkan informasi yang berdimensi sosial politik jarang dikemukakan, paling banter sebatas wawancara atau sebatas suguhan talkshow.

Dapat dicontohkan, manakala terjadi peristiwa bencana alam seperti erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta (2010), puncaknya terjadi pada tanggal 26 Oktober dan 5 November 2010 yang menelan banyak korban tak luput dari peliputan TV swasta yang telah dibingkai sedemikian rupa.

Pada siaran breaking news, beragam peristiwa perkembangan bencana disiarkan sepanjang waktu, situasi desa yang ditinggalkan penduduknya, kisah para pengungsi di barak pengungsian. Penekanan sisi melodrama bencana erupsi Merapi kerap ditampilkan, mulai isak tangis, ratapan, kepanikan, sampai ekspose atau lebih tepatnya eksploitasi besarnya jumlah korban. Mayat yang ditemukan akibat bencana erupsi Merapi disorot sedemikian rupa, disuguhkan dalam gambar berulang-ulang bermaksud menggugah rasa iba dan memberi kesan mencekam, sekaligus memikat para pemirsa.

Tak ubahnya, seperti sorotan belakangan bahwa kini program TV (swasta/komersial) cenderung "alay" dengan segala tampilan selebrtis yang norak seringkali mengundang respons di mana-mana. Inipun wajar terjadi, karena cara pandang yang berbeda dalam memaknai isi siaran/konten yang telah ditayangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun