Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ekspresi dari Langit Nayu Menurut Empu Keris Sukamdi

18 Februari 2025   10:50 Diperbarui: 18 Februari 2025   12:54 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Empu Ki Sukamdi (kiri) saat diwawancara di rumahnya di kampung Jetis, Banyuagung, Nusukan Solo pada sekitar Agustus 2008. Inspirasi dari Langit (Kuburan) Nayu, banyak membuahkan karya hebat pada masa hidupnya sampai 2018. (Foto: Tira Hadiatmojo)

Suatu ketika Ki Sukamdi, pande keris asli Solo (1948-2018) ikut kerasukan membeli tumbuhan anturium yang sedang ngetrend di awal 2000-an. Ya, disebutnya dulu daun Gelombang Cinta. Orang pada gencar berburu Gelombang Cinta lantaran tumbuhan itu kalau sudah tumbuh indah di pot bisa laku jutaan. Bahkan puluhan juta.

"Saya membeli dua pot Gelombang Cinta yang sudah bertongkol, seharga Rp 12 juta," tutur Sukamdi, yang kebetulan saya temui di rumahnya di kampung Jetis, Banyuagung, Nusukan Solo, pada suatu hari di bulan Agustus tahun 2008. Sukamdi mengaku ikut terbuai mimpi, kalau saja tongkol itu sudah menghasilkan ribuan anak tanaman, kan bisa menghasilkan uang jutaan? Lumayanlah...

"Enggak tahunya, seminggu setelah saya membeli, Gelombang Cinta sudah tidak musim lagi. Sudah terlalu banyak orang memiliki. Dikasihkan pun tak banyak yang mau ambil..," ujar Ki Sukamdi, geram.  Ki Sukamdi di Solo sangat dikenal bikinan kerisnya cakep, atraktif, tidak asal bikin dan dalam konsepnya selalu menganut ciri-ciri garap keris-keris Majapahit, walau diekspresikan dalam garap baru. Dalam beberapa kerisnya, Ki Sukamdi menggarap juga keris-keris kontemporer menurut ekspresi zaman, ekspresi menurut kata hati si empu yang pernah mendapat penghargaan dari tangan Sultan Hamengku Buwana X, Supa Award di Keris Summit 2015 di Yogyakarta ini.

Foto keris Gelombang Cinta yang dipegang Mbah Kamdhi atau Empu Ki Sukamdhi dalam foto yang dimuat Kompas. (Foto: Jimmy S Harianto)
Foto keris Gelombang Cinta yang dipegang Mbah Kamdhi atau Empu Ki Sukamdhi dalam foto yang dimuat Kompas. (Foto: Jimmy S Harianto)
Perasaan "keblondrok" (terjerumus, terperosok, kejeglong) ini ternyata justru membuahkan kreativitas pada diri Ki Sukamdi, yang di kalangan penggemar keris dikenal memang piawai dan halus garap kerisnya. Sukamdi kemudian membentuk keris di bengkelnya (bengkel sederhana, hanya dilengkapi tungku pijar dengan arang kayu jati dari daerah Blora) sebuah keris yang meniru bentuk daun anturium, Gelombang Cinta. Lengkap dengan lekuk daun, bentuk tulang daun yang khas, mirip daun Gelombang Cinta beneran. Sukamdi juga melengkapi garap tempaan daun Gelombang Cinta itu dengan ricikan (detil-detil kecil di keris) berupa gelung yang disebut "sekar kacang" atau "belalai gajah" menurut kosa kata Melayu. Juga "ganja" (gonja) atau bagian dasar keris yang terpisah dari bilah utama, detil wajib pada keris, bergelung di ujungnya.

Dalam waktu singkat, keris aneh buatan Ki Sukamdi itu langsung "disambar" orang. Laku dibeli. Waktu itu sekitar Rp 15 juta (sekarang, karya almarhum Ki Sukamdi yang asli mencapai di atas Rp 50 juta, tetapi tentu saja banyak palsuannya). Tak kurang dari tujuh keris Gelombang Cinta dibuat Ki Sukamdi, dan semuanya laku keras. Dan dalam waktu singkat, "dhapur" (model, istilah khas di perkerisan) Gelombang Cinta ciptaan Ki Sukamdi pun meruyak, diduplikasi berbagai pande keris baik di Solo, maupun Madura.

Salah satu wawancara saya dengan Ki Sukamdi alias Mbah Kamdi dimuat di Kompas Jumat 8 Agustus 2008. (Foto: Jimmy S Harianto)
Salah satu wawancara saya dengan Ki Sukamdi alias Mbah Kamdi dimuat di Kompas Jumat 8 Agustus 2008. (Foto: Jimmy S Harianto)
"Tanaman anturium (Gelombang Cinta) yang sudah menghasilkan ribuan tongkol pun saya bagi-bagikan kepada tetangga. Tidak laku dijual...," tutur Ki Sukamdi. (Wawancara dengan Ki Sukamdi soal Gelombang Cinta ini dimuat di Kompas, Jumat 8 Agustus 2008 di rubrik  Budaya "Klangenan" halaman 44 dengan judul "Keris Gelombang Cinta")

Geram terhadap Korupsi

Menjelang Pilpres (pemilihan presiden) 2009 yang menyodorkan tiga capres-cawapres Megawati-Prabowo, SBY-Boediono, JK-Wiranto. Kemudian terpilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono -- Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presidennya. Negeri ini sedang diharu-biru berbagai kasus korupsi.

"Saya juga geram," tutur Empu Sukamdi. Kali itu Ki Sukamdi tidak mengekspresikan kegeraman hatinya itu dalam bentuk keris. Akan tetapi bentuk mata tombak. Bentuknya?

"Wah, bisa-bisa penguasa marah. Soalnya selain lambang partai di ujung tombak, di bawahnya ada lambang tikusnya," kata Ki Sukamdi, alias Mbah Kamdi ini pula. Dia unjukin sketsanya. Lambang partai itu rupanya digambarkan dijunjung di atas tikus kembar yang posisinya bertolak belakang, tetapi buntutnya itu menjadi satu.

"Soalnya koruptor itu ternyata berkait satu-sama-lain," kata Ki Sukamdi. Maka, ada baiknya ekornya itu dijadikan satu saja, jika yang satu menarik ke sisi tertentu, "tikus koruptor" lainnya akan menarik ke sisi sebaliknya. Geret-geretan kepentingan....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun