Keris sering kali dihubungkan dengan cerita tentang Empu Gandring di zaman Ken Arok. Sehingga setiap kali orang ngobrol soal keris, benaknya selalu dipenuhi bayangan, sebenarnya seperti apa wujud "keris empu gandring" itu?
Ketika orang sudah mulai memperdalam pengetahuannya tentang keris, sering ingatannya tertumbuk pada bayangan "keris empu gandring". Sehingga sering menyalah-artikan model keris (disebutnya dhapur keris) Jalak Sumelang Gandring, jangan-jangan itu dulu kerisnya empu Gandring?
Keris berdapur Jalak Sumelang Gandring itu hanya sekadar model, sekadar nama dapur keris. Sama sekali tidak mengunjuk info, bahwa dulu keris empu gandring itu dapurnya Jalak Sumelang Gandring, yang detil ricikan bilahnya adalah: keris bergandhik lugas (tanpa sekar kacang, atau ricikan belalai gajah), pakai pejetan atau blumbangan (cekungan di bagian sor-soran depan bilah keris), pakai tikel alis (detil cekungan melengkung di bagian gandhik), pakai sraweyan (bidang cekung melandai di bagian buritan bilah), serta pakai tingil atau detil kecil serupa duri di ekor bilah. Biasanya bilah bagian tengahnya memakai 'ada-ada' atau bagian agak cembung, seperti gunung memanjang, dan agak tajam tekukan cembungnya.
Tentunya "tidak sesempurna" itu keris Empu Gandring yang makan korban si pembuatnya sendiri, ditusuk oleh Ken Arok sang pemesan keris, lantaran kesal kerisnya tak selesai dalam lima bulan. Karena keris itu mau dipakainya membunuh akuwu Tunggul Ametung, lantaran Arok mengincar isteri sang akuwu yang cantik jelita, bernama Ken Dedes.
Satu-satunya sumber "keris empu gandring" hanyalah naskah tertulis, tentu saja tanpa gambar (belum zamannya potret, apalagi image foto dari ponsel). Dan satu-satunya naskah yang menyebutkan "keris empu gandring" itu adalah Pararaton -- sebuah naskah sejarah, semi fiksi penuh pasemon (gambaran semu, tidak langsung, untuk mengungkapkan sebuah fakta sejarah). Tentu saja tidak semuanya persis seperti deskripsi sebuah fakta sejarah. Menggambarkan situasi politik pada masa akhir kerajaan Kediri melalui gambaran awal kerajaan Tumapel, Singasari.
Karena memang hanya bersumber dari Pararaton, dan kalau menuruti apa yang dideskripsikan kitab tentang peristiwa abad ke-13 itu, maka yang sebenarnya disebut-sebut "keris empu gandring" itu adalah keris yang belum selesai dibikin oleh Empu Gandring. Jangankan pakai warangka. Gagang kerisnya saja belum ada, langsung ditusukkan oleh Arok sehingga Empu Gandring mati. Dan sebelum mati, menurut Pararaton, Empu Gandring berujar: "Angrok, yang membunuh kelak akan mati oleh keris itu, anak cucunya akan mati oleh keris itu, keris itu akan membunuh 7 (tujuh) orang raja...,"
Dari potongan kisah ini bisa diambil kesimpulan singkat, bahwa "keris empu gandring" itu adalah sebuah keris yang belum selesai dibuat, dan baru mau separuh garap. Arok ngotot keris harus selesai dalam 5 bulan, sementara si empu mengatakan: kalau mau baik ya selesai setahun...
Bentuknya? Menurut deskripsi Pararaton, mengutip omongan Arok, "keris itu jelek, belum selesai digosok... Â Dan jika kemudian Arok sengaja memberikan kepada orang kesayangan sang akuwu Tunggul Ametung, Kebo Hijo, maka oleh Kebo Hijo "keris ken arok" itu diberinya hulu "cangkring" atau ruas bambu yang masih ada durinya. Tanpa memakai lem. Ditancapkan pada cangkring begitu saja.
Pramoedya Ananta Toer sastrawan, yang baru saja dirayakan 100 tahun, bahkan memiliki interpretasi sendiri dalam buku novelnya "Arok" (1999). Bahwa sebenarnya cerita atau kisah "Arok dan Keris Empu Gandring" itu adalah gambaran politik perebutan kekuasaan di akhir kerajaan Kediri.
Pelaku utamanya adalah seorang yang sama sekali bukan keturunan raja, bukan berdarah biru. Arok si pelaku sejarah itu bahkan digambarkan "berdarah maling, pembunuh, pemerkosa" di zamannya. Tetapi Arok ditakuti, karena ia jagoan, menangan. Arok yang penjahat komplet itu malah dianggap heroik karena menggulingkan kekuasaan seorang akuwu (pemimpin kerajaan Tumapel) yang dianggap lalim oleh rakyat.