Mohon tunggu...
Jimmy Banunaek
Jimmy Banunaek Mohon Tunggu... Guru - Menulislah sebelum engkau mati

Penulis pemula yang mau terus belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Namanya Dorkas

11 Juni 2019   18:22 Diperbarui: 11 Juni 2019   18:26 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang tua pria itu kemudian memanggil jubir (juru bicara dalam perkawinan) untuk menemui jubir dan kedua orang tua Dorkas agar membicarakan hal ini. Pembicaraan itu dilaksanakan dan memutuskan untuk membatalkan pernikahan  besok. Orang tua dan keluarga dari Dorkas hanya pasrah dan menerima keyataan ini.

Dorkas menjadi sedih. Harapannya menjadi sirna. Apa yang menjadi kebahagiannya hilang sekejap. "Apa dosa dan salah ku Tuhan, mengapa harus terjadi pada kehidupanku ini" gumam dalam hati. "Kehidupan ini sepertinya tidak berpihak padaku. Sudahilah sudah kehidupan ini. Hidup ini seperti sampah" kata Dorkas dalam hatinya sekali lagi.

Waktu pun berlalu. Setiap hari Dorkas berbicara sendiri walaupun tidak ada yang berbicara dengannya. Kedua orang tuanya menganggap dia telah gila atau kurang waras setelah gagal menikah. Orang sekampung pun demikan. 

Mereka semua menganggap dia telah gila atau mengalami gangguan jiwa. Dengan kondisinya seperti itu membuat mereka terus mengolok-oloknya. Penderitaannya semakin bertambah karena pelabelan tersebut.

Usia Dorkas semakin bertambah. Kondisinya yang disanggka kurang waras membuat kedua orang tua dan saudara-sudaranya tidak mempedulikan dia. Dorkas kemudian meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke kota. 

Mereka menganggapnya orang gila padahal tidak. Ia mengalami ganguan psikosis yang menyebabkan ia berhalusinasi karena terus mengingat kejadian yang menimpanya. Ia hanya stres. Ia hanya pingin keluar dari masalah yang membelit selama ini. Ia butuh suasana baru. Suasana di mana ia bebas dari cibiran orang sekampung maupun keluarganya.

Dorkas kemudian menjalani kehidupannya sebagi pembantu rumah tangga atau asisten rumah tangga di kota. Ia menjalani pekerjaan itu dengan baik. Walaupun kadang ia berhalusinasi tapi tidak mencelakai majikannya atau keluarga majikannya. Semua pekerjaan rumah tangga dikerjakan dengan baik, memasak, mengepel, mencuci pakaian, menyetrika dan pekerjaan lainnya ditekuninya dengan baik.

Upah yang diterimanya tidak sesuai, mungkin karena kondisinya seperti itu sehingga dimanfaatkan oleh majikannya. Kadang majikannya berlaku tidak adil kepadanya. Tapi Dorkas tidak peduli seberapapun yang diberikan kepadanya ia tetap menerimannya. 

Ia kemudian menabung upah yang dibayarkan oleh majikannya. Uang dari hasil kerjanya itu sebagian disumbangkan kepada gereja tempat ia beribadah dan sebagian dia berikan untuk anak-anak atau cucu dari saudara-saudaranya. Hal ini terus dilakukan sampai masa tuanya.

Diakhir hidupnya, Dorkas adalah anak satu-satunya anak yang paling mengerti sil silah orang tuanya, baik dari ayah maupun dari ibu. Saudara-saudaranya yang lain tidak mengetahuinya. Semua itu ia tahu karena ia rajin berkeliling menemui semua keluarga untuk memberikan sumbangan. Walapun sumbangan yang dibawanya cuman beras sekilo dan gula sekilo.

Dorkas meninggal karena komplikasi berbagai penyakit diantaranya penyakit keputihan yang memakan habis area kewanitaannya. Karena semasa bekerja di kota ia tidak terlalu memikirkan tentang kesehatannya. Yang dipikirkan adalah bagaimana ia bekerja dan memberi. Apalagi hidup sebatang kara tanpa memiliki suami atau anak-anak yang bisa memperhatikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun