Ada pesan yang masuk dalam telepon genggamku. Entah dari mana tapi langsung agak panjang. "Namaku Rini (bukan nama asli), aku dapat nomornya dari teman. Aku sangat butuh pertolongan. Rasanya mau bunuh diri saja."
Itulah awal percakapan kami, dan ternyata kami tinggal berdekatan. Karena dekat saya minta dia datang ke tempat kosku, karena aku sedang belajar untuk UAS yg sudah dua hari berlangsung. Dia datang. Gadis mungil yang untuk ukuran Jakarta sangat tidak pantas untuk bunuh diri. Langsing dan kulit mulus, dan tutur katanya lancar.
Aku  dengan sabar mendengar keluhkesahnya sambil terus belajar untuk UAS besok. Ternyata masalahnya rumit. Pacarannya tidak direstui orang tua karena beda suku dan agama. Hubungan mereka putus secara formal, tapi secara kenyataan masih saling menyayangi. Dia sudah dua bulan keluar dari pekerjaan lamanya karena tidak cocok dengan atasannya. Sementara tabungan dibuat dalam bentuk deposito, sehingga tidak bisa segera dicairkan. Sudah dua hari tidak makan. Saya lalu pesan go-food makanan kesukaannya.
Ternyata waktu sudah larut malam. Dia merasa takut untuk kembali pulang. Lalu kami putuskan untuk tidur di tempat kos dengan catatan pukul 04.00 dia harus pulang; kebetulan saya juga harus berangkat pagi ke kampus. Awalnya aku tidur di bawah di samping tempat tidur beralaskan selimut di atas karpet.
Tapi dia merasa kasihan dan tidak tega karena dia merasa telah mengganggu. Dia minta aku di tempat tidur saja. Akhirnya kami tidur di ranjang yang sama. Sudah pukul 01.30 aku belum bisa tidur sementara dia sudah lelap. Tiba-tiba dia bergerak dan bangun lalu menyampaikan terima kasih karena tadi dia sudah berniat untuk bunuh diri agar seluruh penderitaannya berakhir.
Dia tunjukkan urat nadinya yang sudah tergores dan ditutup perban. Aku kasihan, dan secara spontan aku memeluknya dan mengatakan tidak baik untuk bunuh diri. Apalagi dia masih muda, cantik dan cerdas serta lulusan perguruan tinggi ternama. Aku bertindak seperti ayah yang memeluk anak kecilnya. Dan dia menikmatinya dan mengatakan aku sungguh seperti sosok ayah yang selalu dirindukannya namun ayahnya tidak pernah melakukannya karena hubungan ayah dan ibunya termasuk dengan anak-anak sangat dingin. Ayahnya yang memang bekerja keras hanya memberi uang yang banyak untuk mendukung keluarga saja.Â
Jarum jam rasanya cepat sekali berputar. Pelukan kami semakin erat sepertinya saling tidak mau melepaskan diri. Untung deringan jam wekker membuatku melepaskan pelukanku. Rupanya sudah pukul 03.45.
'Sudah harus berangkat ya?' tanyanya, dan aku mengiakan. Setelah mandi dan beres-beres, aku mengantarnya naik ojek dan aku titipkan dua lembaran uang berwarna merah sebagai bekalnya. Dia senang sekali.
Aku kembali fokus pada UASku. Walau dengan sedikit rasa ngantuk semua ujian dapat kulalui dengan baik.
Beberapa hari berlalu, pesannya di wa semakin akrab dan mesra. Dia ingin datang kembali. Tapi aku cepat sadar bahwa ini tidak bagus untuk diteruskan. Lalu saya buat pesan terakhir di wa dan minta pamit dengan harapan dia akan sukses di masa mendatang. Dia kaget menerima pesan itu, tapi mengucapkan terimakasih untuk semuanya. Saya lalu membloknya dari telepon genggamku.
Lima tahun sudah berlalu, kami tidak pernah bersua. Tiba-tiba aku mendapat kartu undangan untuk menghadiri pernikahan salah seorang staf di kantorku. Aku dan isteri datang ke acara resepsi pernikahan itu. Isteriku menggunakan gaun biru yang sangat cocok untuknya dan aku mengenakan stelan jas biru dan dasi biru; kami pergi ke tempat pernikahan di Gedung F Kementerian Pertanian Ragunan.