Lalu lintas di Jl. Gatot Subroto hampir saja membuyarkan masa depanku. Wawancara dengan direksi Bank Rakyat Indonesia (BRI) merupakan tahap akhir dari penerimaan calon eksekutif Bank yang kini sudah 122 tahun itu.
Setelah diberitahu lokasi wawancara di lantai atas, maka aku segera meluncur ke atas. Aku sudah menyiapkan diri sebaik mungkin. Dasi pinjaman dari sahabatku sudah menggaelantung di leher kemeja putihku.Â
Wawancara yang berlangsung dalam bahasa Inggris itu cukup menarik. Saya diwawancarai empat orang pejabat BRI. Saat itu BRI sedang mengalami kredit macet sehingga sangat ramai di media. Pertanyaannya kira-kira "Seandainya anda menjadi pejabat BRI kebijakan apa yang anda buat menghafapi kredit macet itu?"
Dengan bahasa Inggris yang terbatas, walaupun sudah lulus dari universitas negeri yang kini pindah ke Depok itu, saya jelas man bahwa perlu dijelaskan kepada masyarakat tentang maksud dan niat baik BRI yang kala itu membantu para petani terutama untuk mendapatkan pupuk.
Begitu gencarnya wawancara yang diselingi gela tawa, rupanya menarik perhatian salah satu petinggi BRI yang sedang lewat. Dia bertanya, "Ada apa ini?"Â
Salah seorang pewawancara menjelaskan bahwa ini ujian wawancara calon eksekutif BRI. "Wah, ini bukan ujian....kalau begitu saya ikut gabung ya?" katanya dan langsung bergabung.
Masih dalam bahasa Inggris dia bertanya sudah sampai di mana. Saya jelaskan bahwa BRI perlu menjelaskan kepada para petani yang tidak mau mengembalikan pinjaman itu pada akhirnya akan rugi juga. Jika mereka tidak mau mengembalikan, maka pada waktu berikutnya tidak bisa lagi meminjam ke BRI.
Di lain pihak, daripada rugi besar, BRI juga bisa menawarkan agar para petani itu me civil pinjaman dari BRI itu. Para pewawancara itu sangat senang terutama setelah kita dalami lagi.
Terakhir pimpinan Tim Itu menyatakan bahwa saya dibuat akan lulus dan diterima untuk masuk pendidikan dan pelatihan. Bukannya senang, tapi saya mengajukan permintaan khusus yakni selama diklat saya perlu uang sejumlah Rp.500.000 per bulan sementara Saat itu peserta Rp 210.000 per bulan. Untuk ukuran tahun 1987 sebenarnya sudah cukup besar. Â Namun karena sudah diterima di beberapa tempat, maka saya mempertimbangkan penghasilannya.
Setelah negosiasi, pimpinan hanya bisa menaikkan hingga Rp 310.000 per bulan, itupun dengan ketentuan tidak boleh ketahuan kepada peserta lain. Mereka beranggapan bahwa pendapat saya sangat berguna sehingga mereka berharap sekali dengan perlakuaan sedikit berbeda itu.
Walaupun saya pada akhirnya tidak dapat menerima tawaran itu, namun cukup senang dengan kemajuan yang dialami BRI hingga saat ini.