Mohon tunggu...
Jimmy Haryanto
Jimmy Haryanto Mohon Tunggu... Administrasi - Ingin menjadi Pembelajaryang baik

Pecinta Kompasiana. Berupaya menjadi pembelajar yang baik, karena sering sedih mengingat orang tua dulu dibohongi dan ditindas bangsa lain, bukan setahun, bukan sepuluh tahun...ah entah berapa lama...sungguh lama dan menyakitkan….namun sering merasa malu karena belum bisa berbuat yang berarti untuk bangsa dan negara. Walau negara sedang dilanda wabah korupsi, masih senang sebagai warga. Cita-cita: agar Indonesia bisa kuat dan bebas korupsi; seluruh rakyatnya sejahtera, cerdas, sehat, serta bebas dari kemiskinan dan kekerasan. Prinsip tentang kekayaan: bukan berapa banyak yang kita miliki, tapi berapa banyak yang sudah kita berikan kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Natal Yang Membahagiakan

7 Januari 2015   17:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:38 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih segar dalam ingatan pengalaman pertamaku kali ini. Setelah sekian lama hidup sangat sederhana ada juga kesempatan hidup di kota besar dan bekerja dengan penghasilan yang lumayan. Namun ini pengalaman pertamaku menikmati akhir tahun seorang diri.

Di tempat tidur aku hanya ditemani satu ipad kecil, dan dua hape serta tiga macbookpro. Jadi aku bisa mengerjakan banyak hal sekaligus. Mendengarkan lagu, membuka youtube, atau membaca berbagai tulisan Kompasiana. Kemudian secara tak sengaja aku mendengar paparan seseorang bernama Derek Prince. Orangnya sudah meninggal dunia dan berasal dari Belanda. Masih segar dalam ingatanku saat dia mengatakan "jangan pernah menganggap diri sebagai orang Kristen kalau tidak peduli sama yatim piatu dan para janda miskin."

Sontak saja, itu sangat mengagetkan diriku. Berbagai fasilitas dan kemewahan sepertinya telah memagari diriku untuk bergaul dengan orang-orang seperti itu. Ibarat petir menyambar di siang bolong, aku tertegun tentang hidupku. Untuk apa kemewahan dan penghasilan yang sangat besar ini semua?

Hampir meloncat pagi itu dari tempat tidur, segera aku mandi dan dengan pakaian sederhana minta supir ke supermarket. Saya lihat uang di dalam dompet masih tebal dan kartu kredit platinum dan gold masih ada. Supir bertanya mau ke mana dan segera saya jelaskan untuk membeli makanan dan minuman untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin.

Sang supir sama kagetnya dengan saya sebelumnya, dan menolak. Awalnya dengan halus tapi lama-kelamaan terkesan marah. Mulanya mengatakan semua toko tutup karena libur, tapi saya bilang kita cari yang buka. Kami ketemu sebuah toko yang buka dan sangat sepi, dan kami membeli banyak bungkusan berupa minuman ringan dan makanan kering yang mengenyangkan.

Sambil sedikit marah sang supir terpaksa membawa bungkusan memenuhi mobil. Ketika saya minta untuk pergi menuju tempat kumuh, sang supir menolak karena ketakutan bahwa daerah itu tidak aman. Untuk itu saya minta diturunkan saja di tempat di mana dia berani masuk dan menunggu di dalam mobil. Dia akhirnya setuju.

Saya keluar membawa beberapa bungkusan, dan saya berikan kepada keluarga yang dengan mudah terlihat keluarga miskin yang sangat membutuhkan di daerah kumuh itu. Senangnya luar biasa dan dengan cepat bungkusan sudah habis. Beberapa lembar rupiah tak lupa saya selipkan, dan mereka sangat senang.

Supir melihat kelakuan majikannya yang aneh dari jauh. Saya melambaikan tangan agar dia mengantar lagi bungkusan yang masih ada. Karena masih ragu saya kembali ke mobil dan kali ini sang supir tidak tega melihat majikannya membawa banyak bingkisan. Maka dia akhirnya ikut membagi-bagikan di daerah kumuh yang dikenal berbahaya itu.

Saya baru sadar terlalu sering aku menginap di hotel mewah dan makan di restoran besar karena dimungkinkan oleh pekerjaan. Namun pagi ini aku disadarkan tiada artinya natal tanpa melakukan kehendak Tuhan yang datang merendahkan diri menjadi manusia. Pesan kecil yang tak sengaja aku dengar mengingatkan aku betapa banyaknya berkat yang Tuhan berikan dalam hidup ini, namun masih saya gunakan untuk diri sendiri dan keluargaku saja. Padahal Tuhan datang bukan hanya untuk dirinya atau keluarganya sendiri, tapi untuk seluruh umat manusia.

Pengalaman pertamaku kali ini dengan membagikan sebagian berkat yang melimpah itu kepada orang lain yang membutuhkan, membuatku justeru semakin bahagia. Setiap orang yang menerima bungkusan mengucapkan kata-kata terima kasih yang tulus, dan itu jauh lebih berarti dan berharga dari gaji besar yang aku terima setiap bulannya.

Setelah itu saya menelepon keluarga nun jauh di sana, sambil saya berceritera pengalaman pertamaku membagi-bagikan rejeki yang Tuhan limpahkan kepadaku kepada orang lain yang membutuhkan. Terdengar kata yang mengatakan"Bagus" namun sesungguhnya menyembunyikan sedikit rasa kecewa. Sepertinya mereka mengatakan tidak perlu seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun