Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik featured

Quo Vadis Reformasi, Memperkosa Anak Kandung Sendiri

8 Desember 2016   11:11 Diperbarui: 21 Mei 2018   14:15 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: 8tracks.com

Kian hari semakin terlihat jika sistem dan tata kelola negara ini perlu ditinjau ulang. Tak hanya sekedar diperbaiki atau disempurnakan. Mungkin perlu diganti!

Ketika Soeharto lengser dan rezim Orde Baru yang dipimpinnya berakhir (1998), bangsa Indonesia mencita-citakan terjadinya gerakan REFORMASI secara Nasional. Sebuah wacana untuk 'membentuk ulang' tata-laksana membangun bangsa dan negara sehingga lebih berpihak pada kedaulatan rakyat dan pemerataan wilayah. Juga tekad untuk mengikis habis praktek KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang terlanjur berkembang menjadi budaya kotor dan menyesatkan.

Sayangnya, 'keimanan KKN' telah menjadi sebuah keniscayaan pada hampir semua lapisan dan sendi kehidupan masyarakat kita. Prilaku lancung itu seolah menjelma menjadi sikap dan pandangan hidup. Melakoni praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan menjadi hal yang wajar. Bahkan tak ada (lagi) rasa malu mempertontonkan perbuatan maupun hasilnya.

Langkah dan tindakan hukum yang digalang untuk memberantas praktek itu boleh dikatakan belum berhasil dan tak memberi efek jera. Tak mungkin kita menyangkal pandangan tentang kualitas kejahatan KKN yang saat ini semakin parah. Semua itu dibuktikan dari stastik kasus dan  profil terduga, tersangka, maupun terdakwa kasus-kasus yang ditangani KPK dan Kepolisian. Paling mutakhir juga dilakoni Tim Saber Pungli (sapu bersih pungutan liar) yang merupakan produk kabinet Jokowi-JK.

Wacana 'Saber Pungli' merupakan bukti nyata bahwa KKN masih hadir dimana-mana meskipun mungkin wujud dan caranya telah ber-‘transformasi’ sesuai dengan 'tuntutan' zaman. Ditilik dari beberapa kasus yang mengemuka, praktek yang berkembang hari ini bisa jadi 'lebih ganas' dan 'semakin biadab' dibanding era Orde Baru.

Maka layaklah jika diperumpamakan dengan kebiadaban orangtua yang memperkosa anak kandungnya sendiri!

+++

Saya menduga, penyebab utama sehingga kita tak kunjung 'move on' hingga hari ini adalah cara pandang mendasar yang digunakan untuk menghadapi persoalan dan tantangan-tantangannya. Retorika 'reformasi' ternyata hanya 'new and extended version' dari yang lama. Sesuatu yang hanya menggiring kita untuk lebih menyibukkan diri dengan program-program 'quick win' dan 'pencitraan' yang menyertainya.

Semua itu memang berpulang pada sistem politik kekuasaan yang kita anut pasca Orde Baru : demokrasi 'one man one vote' dan batasan periode resmi bagi yang tepilih untuk berkuasa. Termasuk pemimpin daerah hingga tingkat kabupaten dan kota. Sesuatu yang di masa kekuasaan Soeharto sebelumnya merupakan bagian dan kepanjangan tangan dari Presiden terpilih. Sistem yang kini kita anut. Platform yang sesungguhnya diyakini akan memberikan hasil lebih baik. Terutama jika mengingat 'persoalan dan masalah' yang pernah berkembang —- akibat cara yang kita gunakan sebelumnya —- sehingga Soeharto berkuasa selama 32 tahun kemarin.

Tapi kita lupa.

Setiap perubahan —- selain selalu menuntut tahapan proses yang terencana dan terukur —- juga mensyaratkan 'reformasi budaya' yang membangkitkan 'sense of urgency' menyeluruh dan merata. Tak cukup hanya pada segelintir tokoh yang 'bersilat lidah' di tampuk-tampuk kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun