Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Eling Lan Waspodo

5 Juli 2020   00:17 Diperbarui: 6 Juli 2020   08:42 2621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suharto dan Jokowi, diolah oleh penulis

Menjelang batas waktu untuk memasukkan nama pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Megawati akhirnya merestui Joko Widodo. Baru kemudian, mereka mencari sosok yang akan dipasangkan sebagai wakil beliau. Hingga kemudian pilihannya jatuh kepada Jusuf Kalla.

Prabowo yang sejak jauh hari sebelumnya telah menyadari tak memperoleh dukungan Megawati, lebih dahulu menyiapkan diri dengan pasangannya, Hatta Rajasa. Mantan Ketua Umum PAN yang juga besan SBY, seteru Megawati yang pernah menjadi anggota kabinet beliau dan kemudian mengalahkannya pada Pemilihan Presiden secara langsung pertama di era Reformasi (2004).

Jokowi-JK ternyata mampu memenangkan suara terbanyak. Mengalahkan Prabowo-Hatta. Tapi sejak saat itu, kampanye hitam untuk mendiskreditkannya mulai berkembang.

Joko Widodo memasuki Istana Kepresidenan dengan beban dan janji-janji politik yang tak mudah. Termasuk hal yang disampaikannya semasa kampanye. Terutama berkait dengan penerintahan yang bersih dan penempatan sosok-sosok profesional di kabinet.

Perseteruan pertama beliau, justru mencuat ketika penyusunan daftar nama menteri. Hal yang menyebabkan PDIP selaku pengusung uring-uringan. Hingga kemudian keluar istilah "petugas partai" untuk dirinya.

Hari-hari pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, justru diwarnai berbagai kabar tentang kegaduhannya dengan partai politik pendukung. Dia dihadapkan pada pilihan sulit untuk mempertahankan gagasan yang dijanjikannya selama massa kampanye.

***

Balaikota Terpelintir

Sementara di Gedung Balaikota Jakarta, Ahok ditinggal sendirian. Berjibaku meneruskan berbagai kerja yang sebelumnya digagas bersama Jokowi. Dengan cara dan gaya yang memang tak sama.

Jika sebelumnya Joko Widodo sering berada di depan dan berinteraksi dengan publik luas, sementara Ahok lebih banyak bertugas memimpin dan menggerakkan organisasi untuk melaksanakannya, maka kerjasama itu tak terjadi lagi setelah pelantikan Presiden-Wakil Presiden 2014-2019. Ahok harus mengambil alih peran pemimpin tertinggi DKI yang ditinggalkan Jokowi. Meskipun kemudian beliau didampingi Syaiful Djarot, sosok yang dipilih PDIP.

Meskipun gaya kepemimpinan dan cara komunikasi Ahok yang blak-blakkan, sering dicerca bahkan tak disukai sebagian masyarakat, program-program pembangunannya terbukti berkembang luar biasa. Bahkan hal yang selama ini dianggap mustahil, berhasil diwujudkan. Memutar balikkan pandangan pesimis dan sikap sinis banyak pihak.

Tapi Jakarta mewariskan terlalu banyak kerunyaman masa lalu. Hal yang harus dihadapi dan diselesaikannya meski dengan segala keterbatasan, terutama status minoritas ganda yang disandangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun