Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Eling Lan Waspodo

5 Juli 2020   00:17 Diperbarui: 6 Juli 2020   08:42 2621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suharto dan Jokowi, diolah oleh penulis

Partai-partai yang lain, sebagian (Demokrat, PAN, Hanura, PKB, PBB, dan 2 partai kecil) mendukung petahana, Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli. Sebagian lainnya (Golkar, PPP dan 9 partai kecil lain) mendukung Alex Noerdin dan Nono Sampono.

Sementara PKS (tanpa didampingi partai lain), mendukung Hidayat Nur Wahid dan Didik J. Rachbini. Kemudian masih ada 2 pasang lainnya, yakni Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria dan Faisal Basri-Biem Benjamin, yang mencalonkan diri melalui jalur independen.

Hasil putaran pertama mengejutkan banyak pihak, karena Jokowi-Ahok menempati posisi teratas (42,60%), mengalahkan petahana yang hanya meraih 34,05 persen. Pada putaran kedua, setelah calon yang diusungnya tak lolos, Golkar dan PPP bergabung dengan partai-partai lain yang mendukung Foke-Nara. Meski demikian, Jokowi-Ahok tetap unggul. Mereka memperoleh 2.472.130 suara (53,82%).

Pencapaian Jokowi-Ahok saat itu dikenang sebagai kemenangan perlawanan suara masyarakat Jakarta yang menuntut perubahan terhadap nasib kotanya. Jokowi yang sebelumnya berhasil membenahi Solo dengan gaya kepemimpinan sederhana dan merakyat, menjadi "media darling".

Minoritas ganda Ahok, sebagai non muslim dan berdarah Tionghoa, tak menjadi kendala berarti. Dalam beberapa hal, justru menguntungkan untuk meraih suara berbagai kalangan minoritas. Mungkin karena mereka merasa "terancam" pada hegemoni mayoritas yang mulai menujukkan dirinya.

***

Menyeberangi Monas

Hampir tak ada yang menduga jika kurang dari 2 tahun kemudian, Jokowi maju menjadi calon Presiden Republik Indonesia. Apalagi bagi yang mengingat "kehebohan" pemilihan tahun 2009 sebelumnya.

Saat itu, Megawati berpasangan dengan Prabowo untuk menyaingi SBY yang dicalonkan untuk periode kedua. Atas kesediaannya mendampingi, beredar luas kabar tentang janji Ketua Umum PDIP itu untuk mendukung pencalonan Prabowo, sebagai Presiden RI pada pemilihan selanjutnya (2014).

Tapi fakta yang terjadi, hal tersebut tak pernah diwujudkan. Putri Bung Karno itu, malah digadang-gadang kader maupun pendukungnya untuk kembali mencalonkan diri.

Popularitas Jokowi sebagai Gubernur Jakarta memang semakin melejit. Sejumlah kalangan mulai membicarakan pencalonannya sebagai Presiden RI. Melalui berbagai jajak pendapat, namanya justru semakin diunggulkan dibanding Megawati. Suara pendukung yang mendesak Ketua Umum PDIP itu, agar mengusung Joko Widodo sebagai calon Presiden, mengalir dari berbagai penjuru.

Hal yang perlu dipertimbangkannya baik-baik, mengingat penurunan kinerja perolehan suara partai berlambang banteng bermoncong putih tersebut, pada sejumlah pilkada dan pemilu sebelumnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun