Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Transportasi Ojek di Tengah Revolusi Industri 4.0

29 Maret 2018   13:03 Diperbarui: 29 Maret 2018   20:32 3382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ojek merupakan angkutan komersial informal yang menggunakan kendaraan roda dua. Telah hadir sejak puluhan tahun yang lalu. Kemungkinan besar bermula di Jakarta. Setelah itu, layanan yang keberadaannya tak pernah diakui tersebut, berkembang di hampir setiap wilayah perkotaan maupun pedesaan Indonesia.

Beberapa faktor penting yang memicu kehadirannya adalah:

Pertama, akibat minimnya ketersediaan sistem pelayanan angkutan umum. Ojek kemudian menjadi alternatif sekaligus peluang usaha bagi yang memiliki sepeda motor dan ingin mendaya-gunakannya.

Kedua, karena adanya ketidak beraturan dalam pengembangan wilayah perkotaan sehingga menyulitkan penyediaan dan operasionalisasi sistem layanan angkutan umum. Rute yang disediakan, sering tak mampu menjangkau penumpang yang berangkat atau menuju sejumlah kawasan sehingga membuka peluang bagi kehadirannya.

Ketiga, adalah pertumbuhan jumlah sepeda motor yang fenomenal sejak akhir tahun 1990-an. Selain karena sistem jaringan pelayanan angkutan umum massal yang buruk, beban biaya transportasi yang harus ditanggung sebagian masyarakat juga semakin mencekik. Sebab tak jarang mereka harus berpindah dari satu layanan ke yang lain --- masing-masing dengan tarif yang terpisah --- hanya untuk menuntaskan satu perjalanan.
Sementara itu, sistem pembiayaan kepemilikan sepeda motor yang tersedia, berkembang dan semakin memudahkan masyarakat. Selain lebih hemat, mereka juga dapat menempuh perjalanannya dengan lebih cepat dan lebih nyaman. Semua itu pada akhirnya membuka peluang bagi sebagian pemilik kendaraan untuk mengoperasikan layanan ojek di waktu senggang. Bahkan banyak di antara mereka yang malah dengan sengaja membeli sepeda motor, semata-mata hanya untuk dioperasikan sebagai sumber nafkah melalui penyediaan layanan ojek informal.

+++

Sejak awal mula, negara melalui pemerintahan yang berkuasa memang mengabaikan dan tak pernah berupaya menata layanan ojek. Bahkan semua regulasi yang tersedia hingga hari ini, tak pernah menjangkaunya. Walau tak ada larangan spesifik, peraturan yang ada memang tak memasukkan kendaraan roda-dua sebagai salah satu alternatif moda angkutan umum. Semua itu tanpa argumentasi yang memadai dan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.

Sulit dipungkiri jika alasan sesungguhnya dari pengabaian tersebut, adalah soal kapasitas dan kapabilitas Negara untuk menanganinya. Hipotesa tersebut relevan ketika mencermati perkembangan kebijakan terkait sepeda motor di jalan-jalan raya.

Meskipun fakta-fakta yang ada jelas menunjukkan alasan pertumbuhan pesat jumlah kendaraan tersebut ---sebagaimana 3 hal yang diuraikan di atas sebelumnya --- tapi setiap rezim pemerintah yang berkuasa hingga yang hari ini tetap tak pernah memperhatikan maupun menempatkan mereka dalam posisi yang setara dan berkeadilan layaknya yang lain.

Perhatikan saja sistem rancangan dan penataan ruang pada berbagai ruas jalan raya, mulai kategori lingkungan hingga Nasional. Meskipun populasi pengendara sepeda motor jauh lebih besar dibanding yang lain (mobil, bus, dan truk), ikhtiar demokratisasi yang melibatkan mereka tak kunjung mengemuka. Bukankah pemilik dan pengendara kendaraan roda dua tersebut mestinya memiliki kedudukan sama dan setara dengan yang lain?

Jika demikian, mengapa tak pernah ada upaya penataan (ruang) yang semestinya dan memadai, bagi kepentingan mereka di jalan-jalan raya tersebut?

Maka tentu sulit dipungkiri jika berkembang anggapan --- bahkan pemahaman --- bahwa pengendara sepeda motor di republik ini, ditempatkan sebagai warga negara kelas dua atau 'kasta' yang lebih rendah dibanding pengguna moda kendaraan yang lain.

Fakta yang terungkap melalui Studi Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (JUTPI, phase 2) yang diselenggarakan Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 2012, secara telak membuktikan absurditas tersebut. Di sana diperlihatkan pergeseran distribusi moda transportasi yang digunakan masyarakat Jakarta Metropolitan. 

Pada tahun 2002, jumlah perjalanan sehari-hari yang menggunakan sepeda motor baru 21 persen. Sementara angkutan umum bus merupakan yang terbanyak, yakni 38 persen. Porsi perjalanan dengan sepeda motor tersebut meningkat lebih dari 2 kali lipat pada tahun 2010 (49 persen) sedangkan angkutan umum bus justru menyusut hingga tinggal sepertiganya (13 persen).

Pada tahun 2018 ini, diperkirakan jumlah perjalanan sehari-hari yang menggunakan moda kendaraan roda dua itu, akan menguasai 52-54 persen dari sekitar 68 juta total perjalanan masyarakat Jabodetabek.

statistik transportasi
statistik transportasi
+++

Ibu dari segala permasalahan ini adalah pada pengabaian Negara dalam menyediakan layanan transportasi publik yang memadai bagi mobilitas warga untuk melakukan aktivitas sehari-harinya. Kelalaian itu bahkan telah berlangsung sejak hal yang paling mendasar, yakni dalam hal penyelenggaraan fasilitas penunjang yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki.

Negara tak pernah sungguh-sungguh mengembangkan regulasi terkait penyediaan pedestrian. Padahal, berjalan kaki semestinya merupakan moda transportasi paling mendasar, sederhana, dan mampu dilakukan oleh siapapun. Dengan demikian, penyediaan prasarana memadai bagi pejalan kaki, seharusnya merupakan hak paling mendasar setiap warga negara yang ketersediaannya mesti dijamin oleh Negara.

Jadi, sebelum menyediakan dan menyelenggarakan prasarana bagi moda transpotasi yang lain --- baik yang bermotor maupun tidak --- kebutuhan yang menunjang kemudahan dan kenyamanan pejalan kaki harus menjadi prioritas pertama dan utama.

Kemudahan dan kenyamanan berjalan kaki, sebenarnya merupakan sarat mutlak untuk menunjang pelayanan angkutan umum. Apalagi yang menggunakan lintasan pelayanan dan perhentian tertentu untuk menaikkan maupun nenurunkan penumpangnya.

Faktanya, Statistik Transportasi DKI Jakarta tahun 2017 melaporkan trotoar yang tersedia di Jakarta hanya 8,6 persen dari keseluruhan panjang jalan raya yang ada. Itupun tidak semua dalam kondisi baik dan layak.

dokpri
dokpri
+++

Jadi, bagi warga Jakarta maupun kota dan desa lainnya di Indonesia, menggunakan sepeda motor adalah sebuah keniscayaan. Jika kita tak ingin menyebutnya sebagai suatu keterpaksaan. Sebab, akibat "Negara tak hadir" maka (sebagian) rakyat terpaksa berkorban untuk menyelenggarakan angkutan kendaraan beroda dua itu.

+++

Kita kembali pada angkutan umum ojek yang hingga hari ini masih berstatus informal tadi.

Hal tersebut sesungguhnya lebih dikarenakan ketidakmampuan Negara (baca: pemerintah) menyelenggarakan administrasi dan pengelolaan yang dibutuhkan. Mata hati dan pikirannya bahkan tertutup terhadap setiap peluang inovasi maupun pemberdayaan yang tersedia untuk "memampukan"-nya. Seperti sikap yang mereka lakoni ketika menyikapi kehadiran perkembangan teknologi digital.

Alih-alih mensyukuri dan memanfaatkannya, aparat pemerintah yang mewakili Negara justru justru sibuk mempertahankan sistem tata kelola dan birokrasi administrasi yang selama ini tersedia. Tapi sesungguhnya semua itu telah jauh ketinggalan zaman dan tak relevan lagi.

Apa yang kita saksikan sesungguhnya adalah sebuah hegemoni kekuasaan.

+++

Dibalik kehadiran jasa pelayanan angkutan umum online --- baik yang menggunakan sepeda motor maupun mobil--- tak semata soal peluang yang memudahkan dan memberdayakan. Tapi juga berbagai potensi permasalahan baru dan lebih kompleks.

Pembiaran yang dilakukan ketika fenomenanya mulai berkembang beberapa tahun lalu --- sebagaimana yang terjadi ketika populasi sepeda motor mewabah di jalan-jalan raya akibat ketidak mampuan pengelola Negara menyelenggarakan angkutan umum massal--- pada akhirnya melahirkan persoalan baru yang jauh lebih pelik. Sebagaimana yang kita saksikan pada unjuk rasa para pengemudi online di Jakarta beberapa hari lalu dan sempat bertemu dengan Presiden Joko Widodo.

Hari ini, ketika jumlah masyarakat yang bermitra dengan layanan itu telah mencapai jutaan orang --- belum lagi puluhan juta lainnya yang menikmati layanan mereka --- kehadirannya terlanjur mengakar dan menjadi bagian kehidupan sehari-hari yang tak mudah dipisahkan. Sebagaimana populasi kendaraan sepeda motor yang membanjiri jalan-jalan raya yang tak pernah memikirkan ketentuan dan tata cara untuk mengakomodasinya. Mereka kemudian telah membangun budaya --- perilaku dan adat istiadat --- yang diyakininya sendiri sebagai sebuah kebenaran yang niscaya.

Bagaimana mungkin hari ini Anda mampu mengatakan 'salah' atau 'tak boleh', kepada para pengendara sepeda motor yang menyusul seenaknya dari sisi kiri, membonceng seluruh keluarga tanpa pengamanan memadai, atau melaju melawan arah pada jam-jam sibuk?

Menyadari ketidakberdayaan, ketidakmampuan, dan kekeliruan dalam menunaikan tugas pokok dan fungsi sebagai birokrasi pemerintahan yang berkuasa --- khususnya mereka yang terkait dengan permasalahan ini --- adalah prasyarat perlu untuk menyelesaikannya. Baru kemudian gagasan maupun inovasi yang perlu dan memungkinkan dapat berkembang dan dikembangkan.

Jika sebaliknya, tentu sulit, bahkan tak mungkin.

Jilal Mardhani, 29-3-2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun