+++
Kita tak membahas lebih jauh soal implikasi sosial, budaya, dan adat-istiadat pembaurannya di tengah masyarakat Indonesia maupun bangsa-bangsa lain dimana mereka memperoleh perlakuan yang kurang lebih sama. Tapi satu hal yang menonjol, pada umumnya mereka memang lebih ulet, gesit, dan lihai. Saya kira, marginalisasi-lah yang menempa sederet keunggulan itu.
Sebagian besar yang hidup dan berkiprah di tengah kita sekarang, termasuk Ahok, adalah turunan Tionghoa yang lahir dan besar di negeri ini. Berbeda dengan orangtua, kakek-nenek, atau buyut mereka yang mungkin masih perantau langsung dari Daratan Cina.
Mereka adalah bagian dari kita, Indonesia. Titik.
+++
Kebijakan yang diambil pada era kepemimpinan Presiden Gus Dur tentang keleluasaan masyarakat turunan Tionghoa untuk merayakan adat-istiadat dan budayanya — termasuk penggunaan bahasa dan aksaranya — memang belum mampu mengenyahkan ‘rasialisme terselubung’ yang sudah terlanjur berkembang. Terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi, mereka masih sering dicibir, dicurigai, atau dituduh ‘tidak’ Indonesia.
Persoalannya semakin runyam karena beberapa tahun menjelang akhir kekuasaannya, Soeharto mulai bersikap lunak terhadap kelompok agama Islam. Sejarah mencatat, kritik dunia Barat terhadap soal demokratisasi di era pemerintahannya membuat Presiden RI kedua itu gerah dan mulai melirik persekutuannya dengan dunia Arab. Organisasi-organisasi yang bernafaskan Islam kemudian berkembang, termasuk ICMI, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia, dan FPI, Front Pembela Islam. Keleluasaan kelompok-kelompok yang berbasis agama Islam justru semakin menguat setelah ia dilengserkan. Apalagi, Gerakan Reformasi 1998 yang melatar-belakangi perkembangan demokrasi politik Indonesia hari ini — atas nama kebebasan berkumpul dan berserikat — memberi ruang yang jauh lebih leluasa.
Maka, setelah masyarakat turunan Tionghoa, ‘diskriminasi terselubung’ yang lain mulai berkembang terhadap kelompok masyarakat non Muslim. Terutama di wilayah-wilayah yang mayoritas masyarakatnya Muslim. Sejumlah peristiwa penolakan terhadap pendirian rumah ibadah menjadi biasa dan kerukunan beragama sesungguhnya amat semu.