Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Iman

15 Juni 2016   01:56 Diperbarui: 15 Juni 2016   02:19 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hal sederhana selalu dibuat rumit di negeri ini. Urusan vertikal dgn illahi vs urusan horizontal dgn sesama makhluk ciptaan Nya sering dicampur aduk hingga melahirkan chaos.

Ibadah puasa di bulan Ramadan adalah urusan beriman (sebagian) umat Islam terhadap rukun-rukunnya. Disebut 'sebagian' karena kenyataannya banyak yang mendeklarasi diri sebagai Muslim tapi tak melaksanakan ibadah itu. Mungkin karena situasi ataupun kondisi tertentu yang menghalangi. Tapi mungkin juga sebagai pilihan yang diambil secara sengaja dan sadar. Sifatnya memang sangat personal. Siapa yang berhak mencabut status dan pengakuan agama mereka? Tak siapapun! Karena sebutan Islam ataupun Muslim memang tak pernah dan tak bisa dipatenkan sebagai milik kelompok atau golongan tertentu.

Lalu, bagi mereka yang betul-betul yakin dan ingin menunaikan rukun itu, mengapa harus 'khawatir' dan 'gelisah' akan terganggu dengan godaan-godaannya?

Lebih runyam lagi, banyak yang ingin dihormati ketika menegakkan rukun-rukun itu. Sesuatu yang justru menghadirkan sakwasangka soal adanya 'keterpaksaan' dalam menunaikan ibadahnya. Padahal, pengakuan dan keabsahan menjalankannya hanya dari Tuhan yang dipercayainya. Bukan dari sesama manusia. Apalagi dari mereka yang memilih keimanan yang lain.

Urusan horizontal justru baru terjadi ketika ada PEMAKSAAN kepada yang sedang berpuasa untuk makan, minum, atau melakukan segala sesuatu yg diyakininya membatalkan ibadah. Artinya ada wilayah privacy yang sengaja diusik. Selama hal itu tidak terjadi tentu tidak ada urusan apapun yang perlu diributkan.

Tapi begitulah.

Kesamaan iman pada rukun-rukun itu secara salah kaprah dijadikan dasar PERSAUDARAAN SUBYEKTIF. Iman yang personal dijadikan urusan kolektif. Ketika 2 atau lebih manusia berupaya menyetarakan persepsi maka peluang munculnya perbedaan akan terbuka lebar. Jalan pintas - atau upaya penyangkalan yang mungkin tak disadari - adalah dengan mencari hal yang dapat di-'kambing hitam'-kan.

Ketika hal itu terjadi maka sesungguhnya keimanan yang bersangkutan terhadap rukun-rukun itu sedang meluntur. Bahkan mungkin sudah menguap ditelan nafsu yang berkelindan pada dirinya sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun