Mohon tunggu...
Jimmi Hendrawan Sinulingga
Jimmi Hendrawan Sinulingga Mohon Tunggu... -

Terlahir pada hari Sabtu, Tanggal 08 Oktober 1977 di kota Medan dan menjadi anak tertua dari pasangan R. Sinulingga dan M.M br. Ginting Munthe. Menjalani pendidikan di SD 060932 Medan, SMPN 13(15) Medan, SMAN 12(13) Medan dan melanjutkan perkuliahan di Institut Teknologi Medan (ITM) Menikah dengan Nara Grace br. Ginting Suka pada tanggal 27 april 2017 di desa Suka, Kec. Tigapanah, Kabupaten Karo Dikaruniai dua orang putra yaitu Hegra Eikhel Timantha Sinulingga dan Einar Alvero Gahara Sinulingga.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Fenomena Gunung Sinabung

6 November 2013   17:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:31 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Akhir-akhir ini Gunung Sinabung yang terletak di Kabupaten Karo, sedang mencuri perhatian kepada dunia. Dimulai pada 03 September 2010 Gunung yang selama ini diam dengan manis, tiba-tiba bergemuruh dan memuntahkan abu vulkanik dari dalam tubuhnya. Seketika itu juga penduduk yang selama ini berteman dan bercengkrama bersama Sinabung terkejut dan panik, mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri apalagi masih terngiang dibenak mereka peristiwa letusan Gunung Merapi yang menelan banyak korban.

Para punggawa pemerintahan juga dibuat kalang kabut ketika itu, karena mereka juga tidak siap dan belum dipersiapkan untuk menangani bencana gunung berapi. Hal ini mungkin terjadi karena terlena dalam keindahan Sinabung yang hanya diam dan membisu selama 400 tahun terakhir. Kabupaten kecil yang tidak begitu menjadi berita hangat dinegeri ini tiba-tiba menjadi berita nasional bahkan internasional dengan ditetapkannya status bencana Sinabung sebagai bencana nasional.

Seluruh mata dan telinga mengarah kepada situasi terkini Sinabung, para punggawa-punggawa bencana berdatangan kelokasi untuk melihat langsung situasinya. Para pendekar-pendekar tanggap bencana menyusun strategi bahkan sang prabu negara juga langsung turun tangan melihat rakyatnya yang tertimpa musibah. Seketika nama Karo, Kabanjahe, Brastagi, Lau Kawar, Suka Meriah, Bekerah, Simacem, Kuta Rayat, Kuta Gugung Sigarang-garang dan lain-lainya menjadi nama yang biasa muncul di media cetak maupun elektronik.

Bagi penduduk Kabupaten Karo terkhusus yang tinggal diseputaran kaki gunung Sinabung menjadi pengungsi adalah hal yang baru, jiwa dan raga mereka terkejut dengan perubahan ini. Pengungsi berjubel memenuhi setiap jambur (tempat berkumpul/pesta penduduk Karo). Ini merupakan salah satu keuntungan bagi penduduk dan pemerintah, karena tidak lagi repot menyediakan tempat bagi pengungsi.

Karena baru menjadi pengalaman pertama menjadi pengungsi maka banyak kejadian-kejadian yang diluar akal manusia, seperti mereka menginginkan menu yang enak tidak mau disuguhi mie instant, mereka merasa sebagai tamu sehingga harus dilayani dengan sebaik-baiknya dan banyak lagi kejadian yang membuat kita geleng kepala. Tetapi hal ini dapat kita maklumi karena selain sebagai pengalaman pertama karakter masyarakat Karo juga mempengaruhinya, semiskin-miskinnya masyarakat Karo jika sudah menyangkut masalah makanan memang agak repot, karena mereka hidup ditanah yang subur sehingga menu makanan mereka juga beragam.Bahkan dengan sayuran tertentu karena sering diberikan kepada hewan ternak mereka agak ogah untuk menyantapnya.

Saat ini gunung Sinabung bereaksi kembali dengan muntahan pertamanya pada 17 September 2013, seharusnya penduduk sekitar gunung sudah terlatih setelah 3 tahun letusan pertama berlalu, namun kenyataannya justru jumlah pengungsi lebih banyak dari sebelumnya dan tentunya kembali memadati jambur-jambr yang ada. Begitu juga pemerintah daerah seharusnya sudah terlatih selama 3 tahun setelah letusan pertama, namun apa hendak dikata malah justru semakin awut-awutan tanpa koordinasi yang jelas dalam penanganannya.

Dari dua kali kejadian letusan di tahun 2010 dan 2013 maka terlihat yang lebih berperan aktif dalam penanganan bencana alam ini. Lembaga keagamaan dan lembaga masyarakat tampak saling bahu membahu membantu para pengungsi baik dari pengadaan bantuan logistik sampai kepada pendistribusiannya bahkan untuk memberikan kenyamanan para pengungsi dari segi mentalnya terlebih bagi anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana.

Menjadi pertanyaan bagi kita, seberapa sulit kah untuk belajar dari apa yang sudah pernah kita alami ? Apakah karena ketidak tahuan kita atau karena kebebalan kita dalam memahami fenomena yang terjadi ? Apakah memang pendidikan moral bagi para penduduk dan aparatur negara sudah sedemikian bobroknya, sehingga terlihat kurang peka terhadap fenomena yang terjadi ?

Kabanjahe, 06 November 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun