Mohon tunggu...
Jihad Bagas
Jihad Bagas Mohon Tunggu... Insinyur - inconsistent Writer

Kegiatan baca dan tulis merupakan kegiatan sakral yang nilai spiriualitasnya bergantung pada kandungan apa yang dibaca dan apa yang ditulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Defleksi Nilai dalam Keteraturan Semesta

3 April 2021   03:45 Diperbarui: 3 April 2021   04:02 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://line.17qq.com/articles/lkncnkdv.html

Ada sebuah istilah, kita hari ini merupakan representasi dari kumpulan kejadian di masa lalu. Tempaan masa lalu membuat seutuhnya menjadi kita sekarang ini. Jika sebuah pedang yang kuat pasti dibuat oleh penempa besi yang hebat, maka kita saat ini merupakan hasil dari tempaan lingkungan tempat kita berada.

Mungkin kita tidak bisa memilih akan berada di situasi seperti apa, tapi kita sepenuhnya mempunyai kebebasan dalam pemaknaan setiap realitas yang menimpa kita. Di sini lah letak free will kita selaku manusia. Karena tiap persepsi akan mendorong untuk bereaksi yang berbeda terhadap realitas yang sama.

Dalam situasi yang persis sama, tiap kita pasti memiliki sikap yang berbeda dalam menyikapinya. Ini lah letak uniknya dari manusia. Seperti istilah tokoh besar yang memilik julukan El Rumi, "manusia itu unik, manusia itu bukan seperti tetesan air dalam samudera luas. Melainkan samudera dalam bentuk tetesan". Sebegitu kompleksnya manusia sehingga dalam pandangan Rumi, besarnya samudera diwujudkan dalam bentuk tetesan air untuk menggambarkan kompleksitas sifat manusia.

Menurut pakar sejarah Yuval Noah Harari, manusia yang berasal dari spesies Sapiens yang mana pada saat lahir hingga sampai kondisi stabil membutuhkan waktu paling lama dalam proses perkembangan fisik dibandingkan spesies lain. Ini menyebabkan manusia memiliki evolusi paling canggih dalam perkembangan nalar akalnya.

Porsi perkembangan akal (otak) yang melebihi spesies lain membuat manusia memiliki kemampuan adaptasi yang baik. Dan lagi perkembangan kognitif yang melampaui spesies lain. Itu lah mengapa secara sederhananya manusia dijuluki sebagai makhluk sosial. Dan dalam islam manusia disebut sebagai Khalifah di bumi, yang artinya pemimpin atau perawat bumi ini. Padahal secara fisik manusia tidak lebih perkasa dibanding spesies karnivora lainnya.

Perkembangan nalar yang pesat ini membuat kita bisa berimajinasi membayangkan seperti apa keadaan yang kita inginkan di masa depan. Kemampuan berkhayal ini diiringi dengan kemampuan bersosialisasi yang baik sehingga bersama -- sama saling menyokong untuk mewujudkan keadaan yang lebih baik di masa mendatang. Begitulah gambaran sederhana manusia dalam mencapai puncak penguasa bumi mengalahkan spesies lain.

Sekarang perkembangan peradaban manusia telah maju dengan adanya ciptaan teknologi hasil olahan akal manusia. Inovasi selalu muncul dalam setiap generasi. Inovasi teknologi didasari oleh berbagai permsalahan keadaan dan berharap ini akan jadi lebih mudah jika teknologi ini ada.

Jika dibandingkan dengan kondisi nenek moyang kita, sudah jelas bahwa keadaan kini jauh lebih baik. Contohnya dengan adanya teknologi penerangan, membuat kita bisa tetap beraktivitas pada malam hari. Dengan bantuan teknologi ini kita bisa beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang gelap.

Perlahan dari generasi ke generasi, kebiasaan baru pun muncul. Sehingga kebudayaan baru pun terbentuk dengan adanya teknologi ini. Zaman dulu dimana malam hari umumnya semua beristirahat untuk menutup hari, masa kini sebagian dari kita tetap beraktivitas dalam menjalani kehidupan. Pertanyaannya dengan segala perkembangan yang ada, apa kini nilai kehidupan menjadi lebih baik?

Bersyukur jika jawabannya iya. Jika jawabannya tidak, apakah teknologi itu dibuat benar -- benar menyelesaikan masalah atau hanya sekedar memindahkan masalah? Menutupi masalah lama, dan menimbulkan siratan masalah baru.

Ternyata berkembangnya akal yang pesat ini yang membuat kita mampu menyelami samudera ilmu pengetahuan, tetap tidak bisa menghilangkan sifat naluriah kita. Sifat naluriah yang sama dengan makhluk lainnya, yaitu nafsu. Nafsu yang mendorong kita sehingga kita memiliki ambisi untuk membuat segalanya takluk dengan kita.

Merasa cukup mungkin menjadi konsep yang sulit kita pahami. Desakan dalam diri dan lingkungan menjadi faktor pendorong sehingga kita selalu merasa tidak puas diri. Belum lagi ketergantungan akan pengakuan diri dari status sosial menjadi masalah tersendiri dalam era keterbukaan informasi ini.

Mungkin sisi lain dari pesatnya perkembangan teknologi ini menyebabkan adanya bias dalam pemaknaan esensi dari nilai kehidupan kita sehari -- hari. Analogi sederhananya, mata kita punya keterbatasan, sehingga tidak semua cahaya bisa membantu kita dalam melihat. Cahaya yang memiliki besaran spektrum gelombang di luar kemampuan mata kita menyebabkan kita silau sehingga kita pun tidak bisa melihat sebuah benda yang ada di antara cahaya itu.

Sebuah anomali, dengan bantuan cahaya mata kita bisa melihat benda yang ada, dan cahaya pula yang dapat merusak mata kita sehingga kita buta dan semuanya menjadi gelap. Dengan demikian dapat ditarik benang merah, bahwa segala sesuatu itu memiliki pola keteraturan. Keteraturan yang membuat segala sesuatu itu tidak melampaui batas.

Ada beberapa konsep pemikiran para tokoh besar yang bisa dibilang melawan arus mainstream dalam keadaan sosial yang penuh dengan ambisi egosentrisme. Ada tokoh yang berasal dari Jepang yaitu Fumio Sasaki yang membawa konsep minimalisme dalam hidup. Dimana memaksimalkan apapun yang ada untuk menaikkan taraf nilai kehiupan sehingga nafsu akan keterikatan material pun hilang.

Di Jerman ada tokoh yang bernama Albert Camus yang membawa konsep Nihilisme. Dimana semua itu berjalan apa adanya dari lahir sampai mati. Dan memang begitu lah kehadiran manusia tak berarti apa -- apa hanya melakukan siklus hidupnya. Ketika eksistensi setelah kematian masih dipertanyakan, maka memberi arti saat hidup merupakan jalan terbaik menjalani kehidupan.

Bangsa Yunani memiliki pemikir yang bernama Epictetus dan Senecca yang mebawa konsep Stoisisme. Yang saat ini lebih dikenal dengan filosofi teras. Yang intinya segala sesuatu itu tidak semuanya dibawah kendali kita, banyak hal yang diluar kendali kita sehingga dengan segala keterbatasan kita, kita hanya perlu untuk menselaraskan diri dengan segala kondisi yang di luar kendali kita.

Bangsa China ada tokoh Laozi yang membawa konsep Taoisme. Yang mengajarkan bahwa segala alam sudah memiliki keteraturan tinggal bagaimana kita mengikuti aturan tersebut layaknya air sungai yang mengalir dari gunung menuju lautan.

Di nusantara ada tokoh jawa yang dikenal dengan Raden Ngabehi Ronggo Warsito dengan salah satu filosofi pemikirannya yaitu Cokro Manggilngan. Hidup ini layaknya roda yang berputar, tinggal bagaimana kita menyeseuaikan diri saat kedudukan roda berada di atas maupun di bawah. Dan segala Tindakan kita tidak akan berarti apa -- apa jika tidak bermuara pada Sang Ilahi.

Dalam Islam pun ada istilah yang dikenal Zuhud. Dimana orang yang sudah menaklukan dunia dan sudah tidak terikat lagi akan segala hal materialisme duniawi. Ini erat kaitannya dengan konsep syukur, dan syukur sendiri akan bisa dicapai apa bila kita bisa bersikap ikhlas terhadap segala sesuatu.

Segala konsep di atas jika kita coba memparafrasekan itu, mungkin kata yang pas mewakili konsep di atas adalah "serah". Serah memiliki sinonim pasrah. Ini bukan berarti terserah dan menyerah akan kondisi yang menimpa, melainkan berserah diri terhadap suatu dzat yang dengan segala sifat Maha-Nya kita pasrah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun