"Gue nggak pengin kaya, cuma pengin hidup tenang aja. Tapi kenapa ya, hidup kok rasanya makin susah?"
Kalimat itu diucapkan teman saya, Dika, 32 tahun, pekerja kantoran yang tiap bulan gajinya numpang lewat demi cicilan, belanja kebutuhan rumah tangga, dan... deposit judi online yang katanya "cuma iseng-iseng berhadiah."
Tapi iseng itu bukan cuma soal uang yang habis begitu saja.
Ini tentang keresahan eksistensial generasi kita yang katanya kelas menengah, tapi hidupnya tetap penuh kekurangan dan ketidakpastian.
Dan di tengah himpitan hidup itu, judi online datang dengan iming-iming instan: cuan besar, modal kecil, dan keberuntungan yang katanya cuma sekali klik.
Kita Hidup di Tengah Ilusi yang Katanya Mapan, Padahal Rapuh
Kita tumbuh dalam narasi bahwa kerja keras adalah kunci menuju hidup layak.
Tapi di realita, kerja 9 to 5 belum tentu bisa menabung, apalagi beli rumah atau mobil.
Laporan Bank Dunia (2022) menyebutkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia yang tergolong kelas menengah sebenarnya vulnerable atau rentan jatuh miskin saat terjadi guncangan ekonomi.
Dan di tengah kerentanan itu, kita dikepung gaya hidup media sosial, tentang brunch fancy, traveling ke Jepang, atau skincare jutaan rupiah yang katanya "self-reward".
Padahal banyak dari kita yang ngopi kekinian dengan uang hasil paylater.