Mohon tunggu...
Jiebon Swadjiwa
Jiebon Swadjiwa Mohon Tunggu... Penulis

📖 Penulis | Jurnalis | Content Writer | Hidup untuk ditulis, menulis untuk hidup, dan apa yang saya tulis itulah diri saya!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Premanisme THR, Ketika Hak Berubah Menjadi Upeti

24 Maret 2025   14:27 Diperbarui: 24 Maret 2025   14:27 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
fenomena premanisme dan THR di Indonesia (ilustrasi by AI)

Di sudut-sudut kota yang sibuk, di antara lalu lalang manusia yang bergegas mengejar hidup, ada kekuatan yang tak kasat mata tetapi terasa keberadaannya.

Ia bukan hukum yang tertulis dalam kitab perundangan, bukan pula moral yang diucapkan dengan lantang oleh para pemuka etika.

Ia adalah sesuatu yang tumbuh dari kebiasaan, dari keberulangan yang diterima sebagai kelaziman, sebuah tangan tak terlihat yang menarik hak tanpa perlu justifikasi.

Setiap menjelang hari raya, internet gaduh oleh perbincangan tentang premanisme yang meminta jatah Tunjangan Hari Raya (THR) dari perusahaan-perusahaan.

Sebagian menanggapinya dengan sinisme, yang lain dengan kemarahan, sementara ada pula yang diam, seakan kenyataan ini adalah hujan yang datang tiap musim, diterima begitu saja tanpa pertanyaan.

Namun, di balik hiruk-pikuk ini, ada pertanyaan yang lebih mendasar: bagaimana mungkin sesuatu yang semestinya menjadi hak pekerja berubah menjadi kewajiban bagi mereka yang tak pernah ikut serta dalam roda produksi?

Barangkali, ini bukan sekadar soal premanisme dalam arti sempit, bukan sekadar soal sekumpulan orang yang mengetuk pintu pabrik dengan tatapan tajam dan senyum penuh makna.

Ini adalah tentang suatu mekanisme yang lebih luas, tentang bagaimana kekuasaan tanpa legitimasi mampu menanamkan akar di celah-celah kelemahan sistem sosial dan ekonomi.

Seperti benalu yang tumbuh pada pohon yang kuat, ia tidak membunuh secara langsung, tetapi perlahan menghisap sari kehidupan yang seharusnya mengalir kepada mereka yang lebih berhak.

Premanisme bukan sekadar tindakan, tetapi juga simbol. Ia adalah cermin bagi ketimpangan yang tak kunjung usai, representasi dari hukum rimba yang terus bernafas dalam dunia yang mengaku beradab.

Ia hidup di dalam ruang abu-abu yang diciptakan oleh kompromi, oleh ketidakberdayaan hukum, dan oleh ketakutan yang membungkam banyak pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun