"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan." Â (QS. Al-Isra': 26-27)
Setiap Ramadan, ada dua jenis manusia dalam menghadapi dompetnya, yang penuh berkah dan yang penuh resah. Sayangnya, saya lebih sering masuk kategori kedua, baru setengah perjalanan puasa, saldo sudah seperti jalanan sepi setelah sahur: kosong dan sunyi.
Selain itu, Ramadan selalu datang membawa dua ujian, menahan lapar dan menahan lapar mata. Yang pertama, insyaAllah bisa ditahan. Tapi yang kedua? Ah, susah! Setiap sore, aroma gorengan menggoda di pinggir jalan, promo e-commerce terasa seperti panggilan suci, dan ajakan bukber bertebaran seperti undangan rapat kantor, banyak dan kadang tak bisa ditolak.
Awalnya, niat puasa ini mau sekalian irit. Tapi kenyataannya? Baru setengah Ramadan, saldo sudah lebih tipis dari kulit risol. Masalahnya bukan cuma hari ini, Lebaran masih jauh, tapi dompet sudah lebih dulu 'berlebaran'.
Mengapa Ramadan Sering Jadi Momen 'Kebocoran' Finansial?
Ada semacam paradoks yang aneh. Ramadan mengajarkan kita menahan diri, lapar, haus, dan nafsu. Tapi di sisi lain, realitas sosial menunjukkan sebaliknya, konsumsi justru meningkat. Bukber sana-sini, jajanan takjil tiap sore, sampai wishlist e-commerce yang tiba-tiba terasa darurat. Sering kali, Ramadan bukan sekadar soal ibadah, tapi juga ajang 'balas dendam' konsumsi.
Fenomena ini ada namanya dalam psikologi, moral licensing. Setelah melakukan sesuatu yang baik (puasa, misalnya), kita merasa berhak memberi 'hadiah' pada diri sendiri. Jadilah saldo terkuras dalam nama 'self-reward'. Ironis, bukan?
Eksistensi Kita, Antara Kebutuhan dan Keinginan
Jean-Paul Sartre pernah bilang, "Manusia dikutuk untuk bebas." Artinya, kita selalu dihadapkan pada pilihan, termasuk dalam soal keuangan. Ramadan mestinya menjadi pengingat bahwa kita bisa hidup lebih sederhana, tapi sering kali kita malah menjadikannya sebagai ajang pembenaran gaya hidup konsumtif.
Di sini, saya teringat pada konsep zuhud dalam Islam. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa zuhud bukan berarti miskin atau menjauhi dunia, melainkan menempatkan dunia di tangan, bukan di hati. Sayangnya, kita sering terbalik: dunia kita genggam erat-erat, sementara iman diletakkan entah di mana.