Kita tidak hanya berpuasa, kita juga berbelanja.
Setiap Ramadan, iklan mulai membanjiri layar ponsel dan televisi kita. Dari kurma premium seharga ratusan ribu hingga mukena eksklusif dengan motif yang serasi, dari hampers mewah untuk relasi hingga paket umrah kilat yang menggoda.
Ramadan yang sejatinya menjadi bulan refleksi dan kesederhanaan, kini tampak lebih seperti festival belanja besar-besaran.
Ibadah atau Konsumsi?
Fenomena ini bukan terjadi begitu saja. Kapitalisme bekerja dengan cara menciptakan ilusi kebutuhan.
Brand-brand besar memahami bahwa spiritualitas bisa menjadi pasar yang menggiurkan.
Mereka merancang strategi pemasaran yang membuat kita merasa bahwa ibadah perlu didukung oleh barang-barang tertentu agar lebih sempurna.
Dalam psikologi konsumen, ada konsep yang disebut social proof, di mana kita cenderung mengikuti apa yang dilakukan orang lain, terutama ketika kita tidak yakin akan pilihan kita.
Saat melihat influencer atau tokoh agama mengenakan busana eksklusif dan berbuka dengan kurma kualitas premium, muncul dorongan untuk melakukan hal yang sama agar terasa sama-sama menjalani Ramadan dengan baik.
Tidak hanya itu, ada pula fear of missing out (FOMO), ketakutan tertinggal dari tren yang sedang berkembang.