Ramadan selalu identik dengan keberkahan, kebersamaan, dan tentu saja, aneka hidangan lezat yang tersaji saat berbuka.
Namun, bagi sebagian orang, Ramadan bukan tentang memilih takjil atau merancang menu sahur yang menggugah selera, melainkan tentang bertahan hidup di tengah realitas yang kejam.
Di sudut-sudut kota, di rumah-rumah kecil yang pengap, ada mereka yang menghadapi Ramadan dengan perut yang tak terjamin isinya.
Harga sembako naik, penghasilan tetap minim, dan ketika orang lain sibuk memikirkan variasi menu berbuka, mereka justru bertanya-tanya apakah bisa makan hari ini atau tidak.
Bulan yang katanya penuh keberkahan justru terasa seperti ujian tanpa akhir bagi mereka yang hidup di garis kemiskinan yang paling tipis.
Puasa yang Tak Ada Bedanya dengan Hari Biasa
Bagi orang miskin yang semiskin-miskinnya, Ramadan tak banyak mengubah apa-apa.
Lapar bukan sesuatu yang baru, karena sebelum Ramadan pun, mereka sudah terbiasa menahan diri dari makanan bukan karena niat ibadah, melainkan karena keterpaksaan.
Sahur bisa jadi hanya air putih dan sepotong nasi basi yang dipanaskan ulang dari sisa kemarin.
Buka puasa? Kadang hanya bisa berharap ada masjid yang menggelar takjil gratis, atau warung yang berbaik hati menyisakan sisa dagangan.
Sementara di layar kaca dan media sosial, deretan restoran dan influencer pamer hidangan berbuka yang mewah, di sisi lain ada mereka yang bahkan tak berani bermimpi tentang satu porsi nasi hangat dengan lauk sederhana.