Mohon tunggu...
ajid kurniawan
ajid kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - peladang multiplatform

laki-laki setengah abad yang ingin bertanam kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Nature

Tak Ada Keraguan, Sawit Tidak Boros Air

3 Oktober 2019   13:29 Diperbarui: 3 Oktober 2019   13:58 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMODITAS ANDALAN. Hamparan hijau tanaman kelapa sawit. Foto: SawitPlus.co

 

Saya harus menulis yang satu ini. Yang selalu menuai pro-kontra. Topik komoditas perkebunan kelapa sawit. Di mana kepentingan ekonomi acapkali dibenturkan dengan persoalan ekologi.

Lihatlah ketika akun instagram @sawitbaik.id mengunggah mini infografis. Menyajikan data hasil penelitian bahwa tanaman sawit lebih hemat air dibandingkan tanaman perkebunan lain, seperti karet. Serangan bertubi-tubi langsung dilayangkan oleh pihak yang kontra di kolom komentar.  Menyoal hasil penelitian yang dinilai tidak lagi up to date.

Pada infografis itu, sawitbaik.id menjelaskan bahwa jauh sebelum kebun sawit berkembang,  Coster (1938) telah meneliti kebutuhan air untuk berbagai tanaman. Pada akhirnya, penelitian yang dilakukan oleh Coster itu menemukan fakta bahwa tanaman sawit yang selama ini dituduh rakus air, ternyata jauh lebih hemat dibandingkan tanaman lainnya.

Sedikitnya, saya pernah dibekali ilmu konservasi tanah dan air saat studi di Fakultas Kehutanan, Jurusan Konservasi Hutan. Masa itu, tanaman kelapa sawit belum menjadi komoditas andalan seperti sekarang. Penelitian tentang aliran permukaan dan erosi di Pulau Jawa yang dilakukan oleh Coster luput dari pustaka saya.

Tentu penelitian Coster menjadi sangat menarik. Penelitian ini telah membukakan mata publik secara akademis. Siapa menduga, tanaman bambu yang selama ini dianggap sebagai tanaman hemat air,  ternyata justru sangat boros penggunaan air (3.000 mm per tahun). Kemudian disusul lamtoro (3.000 mm per tahun), akasia (2.400 mm per tahun), sengon (2.300 mm per tahun), pinus (1.300 mm per tahun), karet (1.300 mm per tahun), sementara sawit (1.104 mm per tahun).

Benar. Penelitian Coster memang sudah sangat lama. Ini mengingatkan saya pada seorang dosen yang mengatakan bahwa ilmu-ilmu kehutanan dan pertanian bisa dikatakan ilmu yang sangat tua. Karenanya, buku-buku tua tentang kehutanan dan pertanian masih menjadi daftar acuan penelitian. Hingga sekarang ini.

Nah, agar anggapan bahwa perusahaan berbasis kelapa sawit banyak memiliki andil dalam pemborosan air termentahkan secara akademis, dan up to date dari aspek waktu, ada baiknya kita me-review pendapat DR. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc.Agr. Dwi Putro adalah dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.

Sebagai akademisi, Dwi Putro menangkap persoalan pengembangan kelapa sawit banyak mengalami tantangan. Utamanya terkait dengan isu kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.

Kelapa sawit dianggap sebagai tanaman yang rakus air sehingga pengembangan kelapa sawit dapat menyebabkan kerusakan tata air di suatu wilayah.

Makin banyaknya perkebunan kelapa sawit dipandang sebagai ancaman bagi ketersediaan air di suatu wilayah. Akibat keberadaan perkebunan kelapa sawit, ketersediaan air (di mata air maupun sungai) di wilayah tersebut semakin berkurang. Isu itu merebak sedemikian rupa sehingga masyarakat  kerap diimbau untuk tidak menanam kelapa sawit.

Kalangan pegiat perlindungan lingkungan hidup pun ikut mengingatkan tentang "bahaya" nya sawit: pengembangan kelapa sawit akan mengubah lahan hijau yang subur, jutaan hektar, menjadi gurun tandus, nanti ketika usia hidup sawit (setelah replanting) berakhir.

Mengapa kelapa sawit dianggap sebagai tanaman yang rakus air dan menyebabkan kekeringan disuatu wilayah ? Dwi Putro menilai pandangan ini  bukan tanpa dasar.

Banyak masyarakat yang wilayahnya berkembang perkebunan sawit merasakan bahwa sumur-sumur menjadi lebih gampang kering. Dulu, sebelum berkembang perkebunan kelapa sawit, air di musim kemarau masih bisa diperoleh. Namun sekarang kemarau sedikit saja air sudah susah diperoleh. Demikian anggapan mereka.

Apakah benar kelapa sawit adalah tanaman yang rakus air sehingga dapat menyebabkan menurunnya suplai air ? Secara logika, jelas Dwi Putro, untuk melihat apakah tanaman rakus air atau tidak, tentu dengan melihat seberapa banyak air dibutuhkan oleh suatu tanaman untuk tumbuh dan berproduksi secara normal. Inilah yang disebut sebagai kebutuhan air konsumptif tanaman.

Apakah tanaman kelapa sawit merupakan golongan tanaman dengan nilai evapotranspirasi tinggi? Berbagai penelitian menunjukkan bahwa nilai evapotranspirasi tanaman kelapa sawit berkisar antara 1100 -- 1700 mm/tahun. Penelitian terkini yang hasilnya tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Coster (1938).

Pasaribu, et al., (2012) melalui penelitian selama 3 tahun di PPKS sub unit Kalianta Kabun Riau mendapatkan bahwa evapotranspirasi di perkebunan kelapa sawit rata-rata 1.104,5 mm/tahun.

Tarigan (2011) mendapatkan bahwa nilai evapotranspirasi kelapa sawit yang di tanam di lahan gambut di Kabupaten Seruyan Kalimantan Tengah selama 3 bulan (Juli-September) adalah sekitar 386 mm.

Taufik dan Siswoyo (2013) melaporkan evapotranspirasi yang terjadi di Perkebunan Kelapa Sawit Sub DAS Landak Kapuas sebesar 4.39 mm/hari atau setara dengan 1580 mm/tahun.

Sementara Harahap dan Darmosarkoro (1999), mendapatkan bahwa kelapa sawit memerlukan air 1.500-1.700 mm per tahun untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan dan produksinya.

Kesimpulannya, tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang "tidak rakus air" dibandingkan dengan tanaman lain lebih nyata jika tolok ukur yang digunakan adalah efisiensi penggunaan air.

Jika sejumlah akademisi telah memiliki kesimpulan yang seragam bahwa tanaman sawit tidak boros air, apakah kita masih meragukannya. Saya mempercayai kebenaran dan menghargai kerja-kerja ilmiah akademisi. Tak ada lagi keraguan, bahw sawit tidak boros air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun