Mohon tunggu...
jian ayune
jian ayune Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi tahun ke-3

menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kita dan Budaya Patriarki

24 Mei 2022   23:19 Diperbarui: 24 Mei 2022   23:24 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.its.ac.id/news/2020/04/22/belenggu-budaya-patriarki-terhadap-kesetaraan-gender-di-indonesia/

“ Kebudayaan merupakan hasil karya cipta dan rasa masyarakat” begitulah kata Ki Hajar Dewantara

Sejalan dengan pengertian dari budaya itu sendiri yaitu cara berpikir dan bertindak objek material yang membentuk cara hidup seseorang atau sekelompok masyarakat. Kebudayaan yang ada di Indonesia sendiri beragam bentuknya, mulai dari bahasa, kepercayaan, nilai dan keyakinan. Pluralisme ini terus berkembang seiring berjalannya waktu dan muncul adanya kebudayaan baru adaptasi dari hasil globalisasi menambah khasanah keragaman budaya yang ada di Indonesia, menurut Arumsari budaya itu mengakar sekaligus dinamis. 

Masyarakat indonesia sendiri mayoritas menganut kebudayaan ketimuran yang mengedepankan norma kesusilaan, dimana sanksi dari norma kesusilaan ini biasanya berupa sanksi sosial. Budaya ketimuran berkembang dan mengakar di Asia ,salah satu unsur budaya ketimuran juga kental akan sarat budaya patriarki, dimana Patriarki adalah suatu sistem dimana adanya relasi yang timpang antara yang mendominasi dan yang didominasi, atau. yang mendominasi mengontrol yang didominasi. 

Hal ini berkaitan dengan. ekspresi gender dimana yang mendominasi adalah kaum-kaum maskulin atau superior sedangkan yang didominasi adalah kaum-kaum feminine atau inferior. Patriarki di Indonesia muncul ketika era penjajahan Belanda, pada saat itu perempuan menjadi kaum tertindas secara lahir maupun batin. Perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi karena hanya akan berada di dapur, sumur, dan kasur, begitu sempitnya persepsi akan seorang wanita karena dianggap hanya kapabel dalam urusan domestic, sementara laki-laki menjadi kaum dominan dan dianggap lebih superior. 

Juga berkembangnya stereotip bahwa wanita lemah, penurut, kurang cerdas, lebih mengandalkan perasaan dan sebaliknya untuk laki-laki dianggap kuat, berpendirian, cerdas, dan rasional merupakan salah satu budaya yang secara sadar atau tidak tetapi sudah terpatri dan mengakar dalam konstruksi budaya di Indonesia.

Menurut Puspitawati dalam Rahmadani (2013) kata “gender” dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa gender menyangkut aturan sosial yang merujuk pada perbedaan laki-laki dan perempuan. 

Budaya patriarki dalam hal ini lebih menguntungkan gender pria yang pada akhirnya mendominasi gender wanita. Perjuangan melawan gerakan patriarki ini bahkan sudah ada sejak jaman kolonial Belanda salah satunya diprakarsai oleh R.A. Kartini, bukan tanpa sebab R.A Kartini diangkat oleh presiden Soekarno menjadi salah satu Pahlawan Pejuang Kemerdekaan melalui Kep. Pres. RI No.108Tahun 1964 dan bahkan menetapkan tanggal lahirnya yaitu 21 April sebagai hari Kartini, karena perjuangannya yang memperjuangkan pendidikan untuk kaum wanita dan gagasannya melalui surat yang ia tulis kepada teman penanya di Belanda berisi ingin memajukan indonesia yang saat itu masih terbelakang dampak dari penjajahan. Ia adalah satu dari sekian banyak tokoh yang menjadi ikon perjuangan kaum wanita di indonesia, meruntuhkan budaya patriarki yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang mutlak.

Pro kontra terhadap budaya patriarki masih sangat sering terjadi di Indonesia, masyarakat beranggapan bahwa menentang budaya ini sama saja dengan menentang agama karena adanya fanatisme agama berlebihan sehingga tidak mengkaji ulang apa-apa saja yang menjadi dalil tetapi malah menelan mentah-mentah konsepsi dari yang menurut mereka adalah “junjungan”. Hal ini disebabkan oleh kaum yang merasa mendapat previlege dengan masih langgengnya budaya patriarki ini tentu tidak setuju jika budaya ini dihapuskan. 

Padahal tercantum dalam Undang-Undang Persamaan Hak Perserikatan Bangsa-Bangsa di pasal 3 “Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita” menetapkan “Segala langkah yang sesuai akan diambil untuk membentuk pendapat umum dan mengarahkan cita-cita nasional pada pembasmian prasangka dan penghapusan praktek-praktek lain yang berdasar pada anggapan bahwa wanita lebih rendah”. Contoh masalah sosial yang ada dalam belenggu budaya patriarki adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sepanjang tahun 2018 KOMNAS Perempuan mencatat setidaknya terdapat ada 348.446 kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tersebar ke 34 Provinsi di Indonesia. 

Hal ini merupakan bukti nyata bahwa kekerasan suami terhadap istri masih terlegitimasi oleh budaya di Indonesia, istri dianggap pantas diberi kekerasan dalam bentuk fisik maupun verbal jika tidak menuruti kata suami merupakan hal yang wajar bagi mereka yang pro terhadap patriarki, termasuk pelegalan marital rape. Hal ini tentu membuat istri memiliki keterbatasan dalam berpendapat atau melakukan sesuatu yang hakikatnya melanggar Hak Asasi Manusia.

Kasus lain adalah pelecehan seksual dimana masyarakat cenderung melumrahkan perilaku pelecehan seksual dan lebih menyalahkan wanita atas dasar pakaian yang mereka kenakan, yang disebut sebagai budaya victim blaming atau menyalahkan korban atas kesalahan pelaku. Pada semester awal tahun 2019 misalnya, kasus pelecehan terhadap Baiq Nuril seorang guru SMA di Mataram menjadi sorotan karena ia merekam percakapan pelaku pelecehan yang merupakan Kepala Sekolah di SMA tempat ia bekerja, alih-alih mendapat pembelaan karena merekam percakapan bejat pelaku ia malah dinyatakan bersalah atas dugaan “mendistribusikan atau mentransmisikan konten kesusilaan yang tertera dalam pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Sebegitu bobroknya perlindungan terhadap korban sampai seringkali korban pelecehan seksual atau pemerkosaan malah dinikahkan dengan pelakunya dengan dalih mereka telah berbuat zina maka harus ada legitimasi agama, padahal hal tersebut berarti korban akan seumur hidup tersiksa lahir dan batinnya. Objektifikasi terhadap wanita juga menjadi hal yang lazim dalam budaya patriarki, wanita hanya dianggap sebagai objek dan mengesampingkan intelektual serta pemikiran wanita. Bahkan sebagai wanita sendiri, alih-alih mendukung sesame wanita seringkali timbul kebencian, saling menjatuhkan dan tidak percaya yang disebut dengan self misogyny.

Sebagai perlawanan terhadap budaya patriarki ini terbentuklah gerakan kaum feminis, istilah “feminis” pertama kali dicanangkan oleh Charles Fourier, seorang filsuf asal Prancis pada tahun 1837. Feminisme. sebagai. suatu. istilah. yang. dipahami secara keilmuan, baru dikenal sejak awal 1970-an di Indonesia, terutama sejak tulisan-tulisan ilmiah tentang feminisme bermunculan dalam buku, jurnal-jurnal dan surat kabar (Warsito : 2012). Kaum feminis sering dianggap sebagai suatu gerakan yang misandri, padahal sejatinya fokus dari feminisme adalah untuk memperjuangkan kesetaraan gender agar kaum wanita tidak dianggap lebih rendah dari kaum laki-laki dan menghilangkan toxic masculinity yang selama ini menjadi acuan masyarakat menilai maskulinitas laki-laki.

Konstruksi budaya patriarki di Indonesia dapat saja diubah jika masyarakatnya meyakini bahwa budaya ini tidak relevan dengan perkembangan zaman, bahkan awal kemunculannya pun karena adanya supremasisme terhadap rakyat Indonesia. Kurangnya kesadaran di masyarakat bahwa budaya patriarki sendiri tidak hanya membatasi hak-hak kaum wanita namun juga stigma maskulinitas pria. 

Maka dari itu upaya untuk menyetrakan gender dan ramah perempuan harus terus digencarkan. Substansi bias gender tidak akan mungkin berubah menjadi adil gender, apabila secara struktural penyelenggara negara tidak sensitif terhadap gender dan masalah mengenai perempuan itu sendiri dan masyarakat masih melanggengkan konstruksi sosial yang tidak adil gender di masyarakatnya. Perjuangan perempuan dalam mengakhiri sistem yang tidak adil (ketidakadilan gender) bukan hanya sekadar perjuangan perempuan melawan lakilaki, melainkan perjuangan melawan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat serta budaya patriarki yang memiliki stigma negatif (Sakina & Siti : 2017).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun