Ulis mengangkat wajahnya setelah menyeruput moccacino dalam cangkir putih. Lagi-lagi ia tersenyum, senyum yang tetap memabukkan untukku.
"Aku mau ketemu sama narasumber, mau aku wawancarai."
"Oh iya, kamu sekarang wartawan di Koran ya?"
Ulis menjawab pertanyaanku dengan anggukan tanpa membalasnya dengan perkataan. Aku mati gaya seketika dan memilih untuk meneguk cappuccino yang aku pesan.
Aku menatap kembali wajah Ulis dan teringat saat pertama kali kami bertemu. Di sebuah kereta arah statsiun gambir dari stasiun Bandung. Dua orang asing yang akhirnya menjadi dekat karena duduk bersebelahan dan menghabiskan waktu sepanjang perjalanan dengan obrolan yang menyenangkan. Ulis dulu bekerja di sebuah perusahaan provider Indonesia sementara aku bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi di Indonesia.
Lalu kami memutuskan untuk memilih kehidupan yang sesuai dengan minat kami. Aku ingin merintis bisnis bersama dengan kakakku sementara Ulis akan mengejar cita-citanya menjadi seorang jurnalis. Kami cukup dekat selama kurang lebih 3 bulan. Setiap minggunya kami bertemu di kereta, menghabiskan waktu bersama, dan diam-diam sebuah perasaan menyelimuti hatiku hangat
Namun aku sadar, kami tidak bisa seperti ini terus dan aku tidak ingin memenjarakan Ulis dalam kehidupan yang belum bisa aku janjikan. Sempat aku mengutuk Tuhan mengapa mempertemukan kami bila akhirnya harus aku relakan perpisahan antara kami terjadi.
"Ulis." Panggilku.
Ia mengangkat kepalanya, menghadapku dengan rasa penasaran.
"Apa kamu masih menungguku?"
Gila. Pertanyaan macam apa itu?? Tolol. Mengapa aku bertanya seperti itu??