"Sudah kau bangun rumahmu?" tanya kakek saya ketika saya berkunjung ke rumahnya pada Desember 2015, setahun  setelah saya bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN) di Manado. Saya pun mengiyakan dan menjelaskan bahwa saya sementara membangun rumah. Kakek saya pun tersenyum bahagia mendengarnya. Mungkin dia berpikir bahwa cucunya sudah sejahtera. Hal tersebut wajar karena memiliki rumah merupakan impian banyak orang dan keluarga. Rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal, tempat berkumpul keluarga, investasi, tetapi rumah juga menjadi simbol kesuksesan dan status sosial.
Sebenarnya rumah saya yang dibangun di Manado tersebut adalah melalui mekanisme Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi. Mengapa saya memilih KPR subsidi? Tentu saja karena keterbatasan keuangan. Sementara KPR subsidi menawarkan uang muka yang rendah, cicilan terjangkau, tenor cicilan panjang, dan bebas biaya tambahan karena dibantu pemerintah. Uang mukanya waktu itu Rp. 1.116.000 atau satu persen dari harga rumah, sementara cicilannya flat (tetap) Â Rp. 695.500 per bulan selama 20 tahun. Cicilan sebesar itu pada masa sekarang terbilang sangat murah.
Meskipun rumah tersebut melalui KPR subsidi, yang seringkali dianggap memiliki "keterbatasan", tetapi syukurnya rumah tersebut berada di tempat strategis, tipe bangunan dan luas tanah yang pas, kualitas bangunan cukup baik, dan lingkungan yang nyaman.Â
Rumah KPR yang dibangun di Perumahan Griya Paniki Indah (GPI), perumahan terbesar di Sulawesi Utara tersebut, tidak jauh dari pusat kota, dekat bandara, fasilitas kesehatan, pendidikan, tempat ibadah, pusat perbelanjaan, dan perkantoran. Di perumahan tersebut juga terdapat rumah komersial (non subsidi) dengan tipe dan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan rumah subsidi.
Bagi saya yang baru bekerja waktu itu dengan penghasilan terbatas, memiliki rumah subsidi saja pun sudah bahagia. Rumah subsidi dengan luas bangunan 36 meter dan luas tanah 105 meter, sudah cukup buat keluarga kecil.Â
Di atas tanah tersebut masih bisa dibangun kamar atau dapur. Luas tanah 105 meter sudah cukup luas bila dibandingkan dengan rumah subsidi sekarang terutama di kota besar. Selain itu, kualitas bangunannya juga cukup baik dibandingkan dengan perumahan subsidi lain yang pernah saya amati. Sayang sekali rumah tersebut terpaksa kami jual karena saya pindah tugas ke Jakarta.
Kami pun akhirnya mencari rumah kontrakan di Depok, tidak jauh dari Jakarta. Tinggal di rumah kontrakan tentu berbeda dengan rumah sendiri. Tinggal di rumah sendiri pasti lebih lebih nyaman, leluasa, sejahtera, dan terhormat. Oleh karena itu, keinginan memiliki rumah sendiri selalu muncul. Saya selalu mencari iklan perumahan di media sosial terutama di facebook dan instagram.Â
Sebelum survei, saya biasanya menanyakan informasi terkait rumah yang ditawarkan oleh marketingnya. Informasi dasar yang biasanya saya tanyakan adalah tentang harga, tipe rumah, siteplan, akses ke transporasi umum, dan sebagainya. Ketika informasi marketing cukup menarik, saya pun melakukan survei terutama di daerah Depok dan Bogor.Â
Selain itu, survei juga dilakukan ke beberapa perumahan tanpa ada komunikasi sebelumnya dengan marketing. Seringkali survei yang demikian lebih baik karena kita bisa langsung ke kantor marketing untuk menanyakan berbagai informasi terkait rumah yang dijual.
Dari ratusan rumah yang saya tanyakan dan puluhan rumah yang saya survei secara langsung, sepertinya belum ada yang cocok dari segi harga, tipe, lokasi, kualitas bangunan, dan kualitas bangunan. Harga rumah di sini sepertinya tidak masuk akal, sangat jauh berbeda dengan di daerah tempat saya sebelumnya.Â
Dengan tipe yang sama, harga rumah di Jabodetabek bisa empat kali lipat atau lebih dari harga rumah di Manado. Di Depok dan Bogor, umumnya harga rumah sudah di atas lima ratus juta rupiah untuk tipe 36/72.Â