Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sertifikasi Perkawinan untuk SDM Indonesia Unggul

27 November 2019   21:17 Diperbarui: 27 November 2019   21:30 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku nikah, bukti sah pernikahan yang selama ini lazim digunakan oleh masyarakat Indonesia. sumber : Merdeka.com

Polemik sertifikasi perkawinan tak kunjung selesai ditengah masyarakat karena berbagai macam persepsi negatif terhadap wacana pemerintah ini. Satu hal umum yang dianggap menjadi efek dari sertifikasi perkawinan adalah mempersulit urusan pribadi masyarakat.

Masyarakat banyak beranggapan bahwa kata sertifikasi berarti harus ada proses yang dilalui untuk mendapatkan sertifikat nikah tersebut.

Anggapan tersebut sepenuhnya tidak benar. Sertifikasi perkawinan justru semakin mempermudah masyarakat dalam melakukan perencanaan nikah, perencanaan rumah tangga, kesehatan, finansial, hingga masalah masa depan anak.

Jadi, persepsi tersebut jauh berbanding terbalik dengan tujuan pemerintah mengadakan sertifikasi perkawinan ini.

Dari pemerintah itu sendiri, sertifikasi perkawinan secara spesifik dan khusus bertujuan untuk mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul, memberikan bekal terutama aspek keagamaan hingga kesehatan, memberikan pemahaman kesehatan alat reproduksi dan penyakit berbahaya, memberi pemahaman masalah gizi dan stunting anak dan menekan angka perceraian.

Dari berbagai tujuan tersebut, pemerintah berpandangan bahwa masyarakat memang perlu dididik dalam berbagai aspek sebelum para calon pasangan memantapkan niatnya untuk menikah.

Dari sisi pengembangan SDM, upaya pemerintah dalam membangun SDM yang unggul dan maju merupakan fokus pemerintahan Jokowi-Amin pada periode 2019-2024 setelah pada periode pertama fokus dalam pembangunan infrastruktur.

Pembangunan manusia dimulai dari bimbingan calon suami-isteri agar bisa mendidik anak dengan cara yang baik sehingga kedepan menjadi generasi penerus bangsa yang cerdas.

Pemerintah juga membekali bekal keagamaan hingga kesehatan secara berimbang agar pasangan yang akan menikah memiliki pemahaman yang mumpuni dalam menyeimbangkan sisi spiritual dengan aktivitas sehari-hari.

Hal berikut yang menjadi perhatian pemerintah adalah soal kasus perceraian yang masih sangat tinggi di Indonesia. Perceraian jelas sangat tidak baik bagi keharmonisan keluarga, terutama anak yang pada dasarnya membutuhkan kasih sayang kedua orang tua.

Sepanjang tahun 2018, menurut Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung ada 375.714 kasus perceraian dan ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Tingginya kasus perceraian ini disebabkan oleh ketidaksiapan dalam menjalani hubungan rumah tangga baik secara mental, finansial dan sikap saat menghadapi masalah.

Secara makro, hal ini sangat berdampak buruk bagi kualitas sumber daya manusia Indonesia, sebab mereka yang mengalami perceraian ini mayoritas golongan ekonomi menengah kebawah.

Faktor ketidaksiapan mental ini juga berpengaruh besar terhadap psikis suami atau istri dalam menjalankan komitmen berumah tangga, terutama mendidik anak. Jika secara psikologis tidak siap, maka akan rentan dengan upaya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Menurut data Kementerian Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan (KPPPA) sebanyak 1.220 pelaku kekerasan keluarga adalah orang tua dan 2.825 pelaku lainnya adalah suami/istri.

Yang lebih menyedihkan lagi menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang tahun 2017 sedikitnya 393 anak mengalami kekerasan seksual dalam rumah tangga.

Pelaku kekerasan ini kerap mememandang isteri/anak sebagai objek, bukan subjek sehingga kesalahpahaman tersebut menimbulkan tindakan kekerasan dari orang tua kepada anak maupun suami kepada isteri mudah di ringan tangankan bahkan banyak yang memaklumi, padahal hal tersebut berpengaruh besar terhadap masa depan sang anak.

Pemerintah memfasilitasi warga untuk melaksanakan pernikahan meski juga masih cukup banyak perkawinan secara adat. Lewat UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan setidaknya negara membantu proses warga untuk membina keluarga.

Perubahan norma dalam batas umur pernikahan bagi pria dan wanita yang akhirnya disamakan menjadi 19 tahun menjadi sebuah kesadaran bersama bahwa kondisi kesiapan psikologi dan kesehatan pasangan juga penting sebelum memasuki gerbang perkawinan.

Dari sinilah pemerintah juga ingin memaksimalkan bimbingan perkawinan bagi para pasangan yang ingin menikah.

Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dan Kementerian Agama tengah menggodok rencana program sertifikasi perkawinan. Program sertifikasi perkawinan tersebut nantinya akan menjadi salah satu syarat pernikahan bagi para pasangan yang akan menikah. Mereka akan diberikan bimbingan perkawinan secara komplet mulai mewujudkan keluarga sehat dan bahagia serta cara mengatasi konflik keluarga.

Dengan program sertifikasi perkawinan ini, harapan untuk mencapai SDM unggul bukanlah mimpi semata sebab SDM yang unggul dimulai dari organisasi terkecil, yaitu keluarga. Jika keluarganya sudah berkualitas, maka berkualitaslah negara tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun