Mohon tunggu...
Jessyka Malau
Jessyka Malau Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Penikmat musik dan kopi hitam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dua Anak, Cukup?

2 Juli 2018   18:26 Diperbarui: 5 Juli 2018   02:15 2537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah diskusi hangat terjadi sekitar tiga tahun lalu di kelas perkuliahan saat membahas topik Psikologi Keluarga. Seorang dosen senior yang berusia 55 tahun bercerita dan berbagi mengenang masa kecilnya.

"Saya adalah anak bungsu dari delapan bersaudara. Saat makan bersama dengan keluarga menjadi momen yang tidak terlupakan sampai saat ini. Bayangkan saja, satu buah telur rebus sampai dipotong menggunakan benang supaya bisa dibagi rata untuk kami berdelapan. Bahkan daging ayam adalah makanan istimewa yang disajikan pada waktu tertentu. Kalau kalian sekarang kan, tidak ada yang sampai delapan atau sepuluh bersaudara, jadi bisa bebas mau makan telur sebanyak apa atau memilih daging ayam atau sapi sesuka hati. Kira-kira ada yang tahu, mengapa bisa begitu? tanya beliau.

Saya berpikir sejenak, lalu spontan mengangkat tangan sambil berkata,

"Karena adanya program Keluarga Berencana (KB), bu.. Program KB yang dilakukan pemerintah membantu orangtua untuk merencanakan jumlah anak dengan alat kontrasepsi. Jumlah anak yang biasanya banyak dalam keluarga di tahun 1960-an menjadi semakin berkurang di tahun 2000-an ini. Sumber daya orangtua pun lebih memadai untuk memenuhi kebutuhan anak secara fisik, psikologis dan sosial."

***

Jujur saja, saat mendengarkan cerita dosen saya, saya langsung teringat pada kisah nyata yang terjadi pada keluarga bapak saya. Bapak adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara. Sebelumnya, mereka dua belas bersaudara, namun ada tiga orang saudaranya yang meninggal dunia karena sakit.

Sulit sekali rasanya bagi saya untuk membayangkan satu rumah diisi oleh sebelas orang, yaitu bapak, ibu dan sembilan orang anak dengan jarak usia yang dekat/rapat. Membayangkan bagaimana repotnya seorang ibu belanja, memasak makanan, mencuci dan menyetrika pakaian, membangunkan anak-anak untuk sekolah, dan lain sebagainya. Sungguh, kepala saya pusing lebih dulu!

Kedua ompung (sebutan kakek atau nenek dalam bahasa Batak) berdagang di pasar. Mereka bekerja dari pagi sampai sore hari. Peran mereka sebagai orangtua untuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan pun dilimpahkan pada bapak dan kakak perempuannya. Akhirnya seorang anak kecil yang mau tak mau terpaksa menjadi mandiri lebih cepat dari waktunya. Bapak pun menjadi terlatih untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mencuci, memasak dan lain-lain. Tak hanya itu, beliau juga menjadi pengasuh adik-adiknya yang masih balita.

Syukurnya, bapak masih bisa bersekolah sampai lulus SMA. Setelah itu, kakek dan nenek saya meminta bapak untuk mencari pekerjaan saja dan tidak perlu kuliah karena biaya diprioritaskan untuk menyekolahkan adik-adiknya. Bapak pun tetap bersikeras untuk berkuliah. Bapak diterima menjadi mahasiswa Diploma-1 (D1) di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Medan. Ya, jurusan pendidikan seni musik sesuai bidang yang dia minati dan kuasai. Kakek dan nenek saya hanya sanggup membiayai uang kuliah, sedangkan untuk biaya makan dan tempat tinggal harus diusahakan sendiri oleh Bapak. Bapak pun bekerja sembari kuliah menjadi asisten dosen dan mengajar les/kursus musik ke teman-temannya. Setahun kemudian setelah lulus, bapak diterima sebagai guru Seni Musik di salah satu SLTP Negeri.

Kisah Bapak membuat saya berandai-andai, apabila pada saat itu bapak saya hanya tiga bersaudara dalam keluarganya, mungkin ia bisa melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Mungkin, masa anak-anaknya akan lebih bahagia dengan bermain dan belajar, tanpa harus bekerja mengurus rumah dan bayi. Ya, kondisi itu tidak dapat diulangi kembali. Hanya bisa menjadi pembelajaran bagi anak-anaknya di masa yang akan datang.

Setelah menyaksikan sendiri bahwa penting sekali untuk mempertimbangkan dan merencanakan jumlah anak dalam satu keluarga, maka saya pun selalu bersemangat untuk berbagi informasi berharga ini. Baik dengan teman-teman atau orang yang baru saya temui. Kebanyakan dari mereka berusia di antara 25-35 tahun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun