Mohon tunggu...
Jeri Santoso
Jeri Santoso Mohon Tunggu... Nahkoda - Wartawan

Sapiosexual

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Martin Mantan Pecandu Narkoba, Semangat Gandhi, Sampai Papua Lagi

31 Agustus 2019   17:43 Diperbarui: 31 Agustus 2019   18:41 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: theatlantic.com

Sebulan penuh saya hidup sekamar dengan Martin. Dia sudah seperti ayah bagi saya. Kemana-mana harus ditemani. Ke gereja, ke taman, atau hanya sekadar jalan-jalan pun harus ditemani. Bahkan ke toilet sekalipun. Ini yang paling menjijikan, maaf. 

Tiap pagi dan sore saya harus memandikan Martin. Tubuhnya yang telanjang sudah terekam jelas dalam ingatan saya. Sehabis buang air, selalu saya bersihkan toilet dan sisa kotoran di lubang duburnya. Ini sangat menyakitkan. Tapi saya harus menjalaninya dengan sukacita. Karena mereka adalah orang-orang yang tidak mendapat tempat dalam relasi dengan masyarakat biasa.

Kalau bukan dengan saya, siapa lagi? Bahkan keluarganya pun enggan. Naif sekali, saya membatin.

Akhirnya setelah genap sebulan penuh, saya harus kembali ke biara dan hidup seperti biasanya. Perpisahan dengan Martin amat memilukan. Sebelum berangkat meninggalkan panti, ia memeluk saya bak seorang ayah kepada anak. Tangisnya tak tertahankan. "Jeri!!!" Hanya itu yang terekam hingga sekarang.

Menjiwai kehdiupan dan teladan orang-orang hebat tidaklah mudah. Menjadi hebat tidak butuh uang dan kuasa. Jadilah kecil di antara orang-orang kecil, itulah hebat menurut saya. Kebahagian tidak bisa ditawar dengan pesang. Pengalaman sekecil apapun dengan orang sekecil apapun itu, rekamlah dan catat sebagai sejarah paling besar dalam hidup.

Mohandas Karamchand Gandhi atau yang dikenal dengan nama Mahatma Gandhi adalah tokoh panutan saya. Mungkin kisahnya tidak relevan dengan cerita perjumpaan saya dengan Martin. Tapi bagi saya, apa yang dikorbankan demi kebenaran selaras dengan prinsip hidup Gandhi. Inilah memoar Gandhi yang perlu dihidupi sampai sekarang.

Pada Jumat 30 Januari 1948, sekitar jam lima sore Mahatma Gandhi menuju tempat upacara doa, dimana hadir  pula banyak orang. Tetapi, sewaktu ia menaiki tangga  ke panggung upacara, terdengarlah tembakan tiga kali, dan rebahlah tokoh India yang juga dihormati di seluruh dunia itu. He Rama (Oh Tuhan), begitulah ucapannya sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Penembaknya seorang Hindu Fanatik, yang tidak menyetujui usaha Gandhi mencegah permusuhan penduduk Hindu-Muslim, dan terpecahnya India menjadi dua negara, akibat perbedaan dan pertentangan agama.

Sebelumnya, berkali-kali Gandhi melakukan puasa dan bagai usaha untuk mencegah terjadinya perpecahan itu, yang disebutnya 'tragedi spiritual'. 

Kematian Gandhi sendiri sebenarnya merupakan suatu tragedi,  yang ditangisi tidak saja oleh kawan-kawan serta pengikutnya, tetapi juga oleh pihak-pihak yang tidak begitu saja menyetujui visi politik maupun cara-cara perjuangannya (P.Swantoro, 2007:47). 

Semua pihak mengakui bahwa Mohandas Koramchand Gandhi memang seorang tokoh besar, yang oleh Rabindranath Tagore dijuluki 'Mahatma' (Jiwa Besar).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun