Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

PANCASILA PENJAMIN PLURALITAS BANGSA

1 Juni 2011   19:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:58 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Catatan: Rekan-rekan, maaf jika ada dari antara Anda yang pernah membaca artikel ini. Baru saja saya mencari tulisan yang satu ini melalui Google.com, dan saya sadar jika tulisan ini pernah saya terbitkan di blog multiply.com. Tapi blog yang saya buat tahun 2006 itu tidak pernah saya lanjutkan, dan di sana hanya ada 2 tulisan. Kemudian saya pikir, tulisan ini masih relevan, dan pas sekarang HUT, mungkin ada manfaatnya kalau diterbitkan kembali di Kompasiana. Apakah tulisan ini pernah dimuat di media cetak? Maaf, saya sendiri lupa, tapi kemungkinan besar ya. O ya, saya hanya ganti tahun peringatan Pancasila. Terima kasih!

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Apa kado istimewa yang akan kita berikan di hari ulang tahun Pancasila yang ke-66, 1 Juni 2011? Kita sedang berada dalam situasi kehidupan berbangsa dan bernegara di mana Pancasila diragukan sebagai sebuah ideologi yang sakti. Pancasila bukan sebuah ideologi yang sakti dalam pengertian memposisikannya sebagai “self-operated tool” yang bekerja secara otomatis dalam menangkal setiap ancaman terhadap eksistensi bangsa. Dalam arti ini, benar kiranya apa yang ditegaskan Christian Wibisono, bahwa yang penting bukan apakah Pancasila itu ideologi yang sakti atau tidak, tetapi bagaimana kita menerima dan mempertahankannya sebagai ideologi pemersatu bangsa (Suara Pembaruan, 27 September 2005). Masih menurut Wibisono, eksistensi bangsa dan negara bahkan terletak pada kesediaan kita menerima atau menolak Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Di sinilah letak pentingnya merefleksikan kedudukan Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa. Menyimak kembali pidato Bung Karno di hadapan sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, kita mengerti mengapa Pancasila adalah ideologi pemersatu bangsa dan negara Indonesia. Bung Karno menempatkan Pancasila sebagai filosofische grondslag, yakni “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang kekal dan abadi.” Demikianlah, kelima sila Pancasila merupakan pengejawantahan (embodiment) dari seluruh nilai dan norma bangsa Indonesia. Kelima nilai dasar Pancasila merupakan jiwa atau hasrat yang mendalam dan kekal yang seharusnya menjadi fondamen penggerak dan justifikasi perilaku berbangsa dan bernegara.

Bagi Bung Karno, pemikiran semacam ini hanya mungkin dipahami kalau kita juga mengetahui raison d’etre pendirian negara RI. Bagi dia, kemerdekaan Indonesia tidak saja sebagai “jembatan emas” menuju kehidupan bersama yang lebih baik dan sejahtera, tetapi juga kesempatan emas untuk mewujudkan kehidupan bersama yang menghormati, menghargai dan memberi tempat bagi nilai-nilai plural bangsa. Apa yang dikatakan Bung Karno mengenai negara Indonesia sebagai “semua untuk semua” tidak lain sebagai penegasan atas dimensi plural bangsa. Hanya Pancasila yang menjamin bahwa bahwa pluralitas akan tetap dihormati, diakui dan diberi tempat di Indonesia. Karena itu, secara ekstrem dapat dikatakan bahwa negara Indonesia akan hancur dan runtuh ketika Pancasila diganti dengan ideologi lain.

Ancaman mengenai kehancuran bangsa dan negara Indonesia nyata di hadapan mata. Kecuali internasionalisme, keempat nilai dasar Pancasila yang dikemukakan Bung Karno dapat menjadi dasar untuk mengidentifikasi ancaman terhadap keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Pertama, paham kebangsaan dan faham negara bangsa (nationale staat) sebagaimana dibayangkan Bung Karno yang meliputi seluruh wilayah yang pernah dikuasasi Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit jelas tidak mungkin kita wujudkan sekarang. Tetapi yang terpenting dari penegasan Bung Karno mengenai paham kebangsaan adalah bahwa masyarakat yang mendiami wilayah kesatuan RI ini harus memiliki hasrat untuk hidup bersama. Hasrat itu tampaknya melemah seiring dengan praktik ketidakadilan dan korupsi yang merajalela di negeri ini. Inilah ancaman kedua yang harus diwaspadai. Ketidakadilan itu ditunjukkan oleh negara secara sangat gamblang selama masa pemerintahan Orde Baru dan sekarang semakin menjadi-jadi. Sebagian besar masyarakat hidup serba terbatas karena krisis ekonomi berkepanjangan, sementara pengadilan terhadap para koruptor belum memenuhi rasa keadilan. Belum lagi upaya rekonsiliasi dan penghentian penyidikan atas kasus Soeharto, mantan penguasa Orde Baru, yang tidak hanya menegasikan hak politik rakyat, tetapi juga memperkaya diri dan kroni-kroninya. Persamaan ekonomi (economic equality) sebagaimana dibayangkan Bung Karno ketika mengusulkan sila kesejahteraan sebagai nilai keempat Pancasila jelas jauh panggang dari api.

Ketiga, memudarnya dasar mufakat dari praktik pengambilan segala keputusan publik di Republik ini menjadi salah satu ancaman kehancuran bangsa. Simak saja apa yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat. Menguatnya praktik voting dalam proses pengambilan keputusan yang penting jelas dapat menghancurkan semangat hidup bersama. Bayangkan saja bahwa RUU APP yang kontroversial itu akan diputuskan melalui sebuah mekanisme voting. Sudah dapat dipastikan bahwa RUU APP tersebut akan lolos dan diundangkan, karena hampir semua fraksi telah menyetujuinya. Di sini kita lupa bahwa persetujuan by majority tidak hanya memaksa kaum minoritas untuk menerima apa yang sudah diputuskan, tetapi juga menegasikan hak-hak politik mereka.

Saya yakin, ketika Bung Karno berbicara mengenai dasar mufakat atau musyawarah dalam pengambilan keputusan, yang muncul dalam pikiran Beliau adalah kesediaan untuk duduk bersama dan berbicara secara terbuka sebagai sesama anak bangsa, terlepas dari segala atribut suku, agama, dan ras. Contoh yang sangat nyata dan historis mengenai hal ini adalah bagaimana kelompok Islam bersedia bermusyawarah dengan kelompok anak bangsa yang lain dan bersepakat untuk menghilangkan tujuh kata dari sila pertama dalam Piagam Jakarta. Prinsip musyawarah sebetulnya cocok dengan apa yang dikatakan David Tracy (1991:8-10) mengenai pluralisme radikal, bahwa kalau pun hanya ada satu orang yang berbeda pendapat, perbedaan itu tidak bisa dimatikan atas nama kehendak mayoritas.

Keempat, formalisme keagamaan dan kecendrungan intoleransi yang menguat akhir-akhir ini dapat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau kita perhatikan, penegasan bahwa negara menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masih sebatas nilai normatif yang belum diwujudkan sepenuhnya. Izin pendirian rumah ibadah, penghancuran rumah-rumah ibadah atau larangan bagi agama lain untuk berkembang di sebuah daerah tertentu hanyalah sederet contoh kecil yang dapat dikemukakan. Bung Karno mengatakan bahwa paham ketuhanan yang hendak diwujudkan di Indonesia bukan dalam arti mendasarkan negara atas ajaran agama tertentu, tetapi mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berketuhanan dengan menghormati satu sama lain. Karena itu, memperjuangkan kepentingan politik, apapun bentuknya, dengan mendasarkannya pada imperatif agama tertentu justru menjadi ancaman yang serius bagi keberlangsungan hidup agama lain. Selain itu, pemaksaan kehendak atas nama ajaran agama tertentu dalam proses perundang-undangan juga sangat membahayakan kelangsungan hidup bangsa.

Karena itu, kado istimewa yang harus kita berikan pada hari ulang tahun Pancasila yang ke-66, adalah penegasan kembali akan komitmen kita, bahwa Pancasila benar-benar ingin kita jadikan sebagai dasar atau fondamen kehidupan bersama. Tanpa komitmen itu, negara perlahan-lahan akan hancur, karena masing-masing orang atau kelompok memperjuangkan kepentingannya sendiri. Sayang memang, sebuah republik yang didirikan dengan susah payah akhirnya harus hancur karena ego dan kepentingan sesaat masyarakatnya sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun