Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Euthanasia (Lagi) di Belgia

10 Mei 2013   09:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:49 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_253130" align="aligncenter" width="400" caption="Christian de Duve (Sumber: http://images14.levif.be/images/resized/400/000/249/076/4/500_0_/image/Christian-de-Duve-.jpg)"][/caption] Berita mengenai euthanasia di Belgia kembali menghebohkan publik. Saya pernah menurunkan berita yang sama di blog kompasiana (lihat: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/01/20/kontroversi-euthanasia-di-belgia-kembali-mencuat-526263.html). Isu yang diangkat pada waktu itu adalah perdebatan moral seputar apakah diperbolehkan memberikan suntikan mematikan kepada orang yang memintanya hanya dengan alasan orang itu menganggap hidupnya sudah tidak bermakna lagi? Bukankah definisi mengenai hidup bermakna dan hidup dalam penderitaan yang tak-tertahankan seringkali tidak jelas alias abu-abu sehingga mengizinkan euthanasia karena alasan itu malah melanggar kehidupan manusia sebagai yang bermartabat?

Kali ini kontroversi kembali mencuat ketika yang disuntik mati adalah seorang yang terkenal. Dia adalah Christian de Duve, seorang penerima hadiah nobel yang diusianya yang ke-95, meminta euthanasia dengan suntikan mematikan, meninggal dunia di rumahnya dan disaksikan oleh sanak-saudaranya, hari Sabtu, 4 Mei 2013.

Sebagaimana diberitakan, de Duve telah mempersiapkan kematiannya beberapa minggu sebelumnya. Dia bahkan sudah menjelaskan alasan dan pandangan filosofisnya mengenai apa itu kehidupan, dan itu sudah dipublikasikan oleh surat kabar Le Soir. Wawancara itu diterbitkan tidak lama setelah kematiannya.

Kematian Bermartabat?

Memang de Duve sedang menderita penyakit kanker, sebuah penyakit mematikan yang dapat saja digunakan sebagai alasan pembenar bagi praktik euthanasia di negara yang mengizinkan praktik semacam itu seperti Belgia. Meskipun demikian, bukan pertama-tama karena alasan ini yang membuat de Duve meminta euthanasia. Pada tanggal 1 April 2013, de Duve terjatuh di rumahnya dan karena tidak tertolong (anak-anaknya tidak ada di rumah), dia melewati saat-saat yang paling menyakitkan selama beberapa jam di lantai. Kejadian ini menyadarkan dia bahwa keadaan yang lebih buruk lagi akan segera menghampiri dirinya. Dan sebelum kejadian yang buruk itu datang, lebih baik menghindarinya dengan meminta suntikan mematikan yang tentu akan dilayani karena praktik ini memang legal di Belgia. Dia menunggu sampai anaknya yang tinggal di Amerika Serikat tiba di rumah baru suntikan mematikan itu diberikan. Putrinya, Anne, melukiskan saat-saat terakhir kematian ayahnya kepada surat kabar Le Soir demikian:

“Sungguh mengesankan. Dia tersenyum, meminta kami untuk tidak menangis, sambil mengatakan bahwa itu adalah saat yang membahagiakan. Saya tidak pernah melihat orang lain yang begitu penuh hidupnya pada saat kematian seperti ini. Dia meninggalkan kami dalam keadaan yang penuh ketenangan, menolak obat pembunuh rasa sakit sebelum suntikan mematikan yang terakhir. Sembari meninggalkan kami, dia mengucapkan selamat tinggal sambil tersenyum kepada kami.”

De Duve lahir pada tahun 1917. Dia sangat terkenal di Belgia karena dialah satu-satunya penerima hadiah nobel pada tahun 1974. Bersama Albert Claude dan George E. Palade, dia menerima hadiah nobel di bidang fisiologi atau bidang kedokteran. Kontribusinya sendiri dalam bidang akademis sangat signifikan yang mengantarnya menerima hadiah nobel, terutama sumbanga pemikirannya dalam menjelaskan struktur dan fungsi peroksisom dan lisosom (organ sel yang berfungsi menghancurkan sisa metabolisme sel), yang merupakan struktur kecil dalam sel. Selama masa pensiunnya yang sangat aktif itu, de Duve mengabdikan dirinya untuk menulis tentang asal usul kehidupan.

Tidak diragukan, kematian tokoh seterkenal de Duve dapat digunakan oleh para pelobi bunuh diri euthanasia yang akan dibantu Inggris, Kanada, Australia untuk memperjuangkan dilegalkan euthanasia di berbagai negara. Kematian ini juga akan menjadi semacam iklan gratis untuk melegalkan euthanasia. Perdana Menteri Belgia, Elio de Rupo memuji keteladan dan karier publik de Duve. Sementara itu, Paul Magnette, seorang politisi terkemuka di negeri itu, memujik keyakinan dan keberanian de Duve. P.Z. Meyers menulis di Pharnygula, sebuah blog populer mengenai peristiwa ini, katanya, “Sungguh sebuah cara yang terhormat dan bermartabat untuk meninggalkan kehidupan!”

Reaksi publik dan pemberitaan yang luas mengesankan seolah-olah kematian de Duve menjadi seperti sebuah euthanasia yang ideal. Seorang pria yang sudah kelelahan dalam hidup terbaiknya memutuskan untuk meninggalkan kehidupan dengan pikiran yang jerni dan ketenangan karena sadar bahwa memang sudah saatnya untuk pergi, dan kepergian itu diantar oleh sanak saudara yang berada di sekelilingnya. Bukankah itu sebuah potret kematian yang membahagiakan?

Jangan terkecoh dengan idealisme kematian melalui euthanasia semacam itu. Kematian de Duve tidak lebih dari sebuah iklan yang mendukung dan menyebarluaskan ideologi kematian yang membahagiakan melalui euthanasia.

Para pendukung dan penggiat euthanasia akan mengatakan bahwa tidak ada pelarian yang abadi ketika seorang mengalami penderitaan dan sakit yang parah. Satu-satunya cara membebaskan diri dari sana adalah melalui jalan kematian. Tetapi apakah de Duve memang sedang sakit? Sama sekali tidak. Pertama, De Duve tidak sedang sakit parah atau sakit terbaring di tempat tidurnya. Kematiannya menjadi penegasan bahwa Belgia berpikir bahwa menjadi tua adalah alasan yang memadai untuk membunuh seseorang. Dengan kata lain, kematiannya dapat menjadi alasan pembenar untuk membunuh dan menyingkirkan orang lanjut usia. Dan para kerabat dan keluarga tidak akan menghalangi hal ini karena menjadi tua dan lanjut usia adalah fakta kehidupan yang tak terbantahkan.

Kedua, surat kabar memperlihatkan bahwa de Duve percaya bahwa dia telah menjadi beban bagi anak-anaknya. Istrinya yang dia cintai sudah lebih dahulu meninggal dunia tahun 2008. Kesehatannya sendiri sudah menurun dan tidak ada alasan lain dalam dirinya untuk mempertahankan hidupnya. Béatrice Delvaux, seorang wartawati Le Soir tampak sangat senang mendengar berita ini. Dia mengatakan bahwa inilah keputusan yang paling tepat yang bisa diambil oleh seseorang untuk mengakhiri hidupnya, meninggal sambil disaksikan oleh sanak saudara dan anak-anak. Inilah cara terbaik untuk pergi.

Ketiga, kalaupun de Duve tidak sedang menderita depresi klinis, keadaan psikologisnya yang temperamental dan melankolis dapat menjadi alasan yang mendorong dia meminta dieuthanasia. Bukunya berjudul The Genetics of Original Sin, de Duve tampak putus asa menghadapi masa depan lingkungan umat manusia. Meminjam kata-kata Hieronyms Bosch, de Duve menggambarkan dunia umat manusia seperti berikut:

“Dunia tempat kita hidup telah menjadi miskin, ribuan spesies mengalami kemusnahan setiap hari, energi dan sumber daya lainnya pun hampir habis, lingkungan memburuk, polusi di mana-mana, iklim berubah, sisa dunia alami semakin terancam. Terutama, manusia sedang dihancurkan oleh jumlah populasi mereka sendiri. Kota penuh sesak oleh banyaknya penduduk yang semakin padat dan kacau. Limbah terakumulasi di dalam dan di sekitar mereka, ketika manusia berusaha keras untuk menghadapinya. Terlepas dari kemajuan kedokteran, epidemi mematikan lebih mengancam daripada sebelumnya. Konflik, diperburuk oleh kesenjangan ekonomi, nasionalisme, dan fundamentalisme, terus berkecamuk di berbagai belahan dunia. Momok bencana nuklir telah menjadi sesuatu masuk akal.”

Tokoh yang dia idolakan tentu Robert Malthus dan Paul Ehrlich. Sementara pihak yang paling dia benci adalah Gereja Katolik. Menariknya, meskipun de Duve masuk dan duduk sebagai anggota Akademi Kepausan untuk kemajuan Ilmu Pengetahuan, pandangannya mengenai Gereja Katolik sangatlah negatif. Bagi dia, Gereja Katolik adalah penindas dan obsesif karena ajaran-ajarannya mengenai aborsi, euthanasia dan anti keluarga berencana. De Duve mengatakan bahwa solusi bagi keadaan dunia yang semakin kacau adalah pembatasan jumlah kelahiran secara keras, antara lain melalui praktik kontrasepsi, homoseksualitas, sterilisasi, aborsi, pajak yang tinggi bagi pasangan suami istri yang memiliki banyak anak, dan semacamnya. Bagi de Duve, keadaan dunia yang terancam hancur karena terlalu banyak manusia di muka bumi ini seharusnya mendapat perhatian khusus dari lembaga politik tentang strategi pembatasan jumlah kelahiran, dan itu harus didukung penuh oleh lembaga-lembaga moral dan agama.

De Duve menganut pandangan filosofis yang mengatakan bahwa kita semua segera akan binasa kecuali kita mengambil tanggung jawab untuk mengarahkan evolusi kita sendiri. Dia bahkan berpendapat bahwa Brave New Worl bayi kloning adalah gagasan ilmiah yang jauh lebih baik dan unggul dibandingkan dengan pilihan alamiah melalui evolusi yang sifatnya sewenang-wenang. Inilah yang dia maksudkan dengan menguasai dan mengendalikan jalan evolusi manusia sendiri daripada membiarkannya berevolusi secara alamiah karena sifat evolusi yang sewenang-wenang itu (arbitrariness). Pesimismenya yang mendalam terhadap kehidupan ini berasal dari observasinya bahwa dunia dan manusia belum mampu membatasi kehidupan di muka bumi ini.

[caption id="attachment_253132" align="aligncenter" width="857" caption="Buku karya Christian de Duve berjudul The Genetics of Original Sin (Sumber: http://www.nhbs.com/images/jackets_resizer_xlarge/18/186536.jpg)"]

1368153888516331611
1368153888516331611
[/caption]

Dengan latar belakang seperti ini, tidak mustahil bagi seorang de Duve untuk memiih euthanasia sebagai jalan terakhir bagi hidupnya. Dia sebenarnya menghadapi sebuah keputusasaan atas eksistensinya sendiri dan keputusasaan akan masa depan dunia. Semuanya bercampur aduk dan menghantui kehidupannya.

Masalah Euthanasia di Belgia

Sejauh ini, kasus kematian melalui euthanasia di Belgia telah meningkat pesat sejak dilegalkan pada tahun 2002. Sebuah studi terakhir mengenai hukum euthanasia di Belgia menemukan bahwa 32 persen kematian berbantuan (assisted deaths) dilakukan tanpa permintaan pasien dan 47 persen dari kematian berbantuan tidak dilaporkan kepada pihak berwajib di daerah Flanders. Sementara itu, studi lainnya melaporkan bahwa meskipun para perawat dilarang untuk melakukan euthanasia, faktanya para perawat di Belgia juga melakukan euthanasia. Celakanya, sejauh ini tidak ada usaha yang serius untuk menghukum mereka yang mempraktikkan euthanasia yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai euthanasia.

Dengan kata lain, praktik euthanasia di Belgia sebenarnya sudah mencapai level tidak bisa dikontrol lagi. Pada tahun 2012, statistik euthanasia menunjukkan peningkatan kematian melalui euthanasia di negara itu sebesar 20 persen.

Statistik yang ditunjukkan oleh pemerintah Belgia sendiri memperlihatkan bahwa jumlah kematian euthanasia yang dilaporan mengalami peningkatan dari 1133 di tahun 2011 menjadi 1132 di tahun 2012. Dan ini merepresentasikan 2 persen total kematian di Belgia. Jumlah kematian melalui euthanasia di Belgia tahun 2010 sebanyak 950 orang. Tentu ini belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan, sehingga jumlah kematian melalui euthanasia jauh lebih banyak dari itu.

Data yang menunjukkan bahwa 32 persen mereka yang meninggal karena euthanasia dilakukan tanpa permintaan pasien. Itu artinya para pasien itu memang dalam keadaan yang tidak kompeten, tidak sedang menderita kanker, berusia di atas 80 tahun, dan sedang tinggal di rumah sakit. Inilah orang-orang yang termasuk kategori “a vulnerable patient group” alias kelompok pasien (kaum lansia) yang sangat rentan. Kerentanan mereka tidak dilindungi, tetapi justru dianggap sebagai beban sehingga harus dibunuh.

Demikianlah, kematian de Duve melalui euthanasia sebetulnya hanya satu kasus kecil dari sekian banyaknya praktik euthanasia di Belgia. Dan tampaknya praktik ini akan terus berlanjut. Persoalan moralnya terletak pada ketidakmampuan negara melindungi kelompok yang rentan seperti kaum lanjut usia. Kealpaan perlindungan ini, jika tidak segera diatasi, akan meluas kepada praktik euthanasia kepada kaum disabel, mereka yang terlahir cacad dan dianggap sebagai beban negara. Jika sudah demikian, di manakah peran negara dalam melindungi segenap warga negaranya?

Sumber:

·http://www.mercatornet.com/articles/view/not_a_noble_death

·http://www.lifesitenews.com/blog/euthanasia-deaths-increase-by-25-percent-in-belgium/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun