Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pasrah pada Ruang Publik yang Gaduh?

6 Juli 2018   09:44 Diperbarui: 7 Juli 2018   17:50 2257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menghadapi ruang publik yang gaduh dalam keseharian kita, haruskah kita menutup mata dan telinga? Sumber ilustrasi: salon.com

Perasaan bercampur-aduk mengikuti berbagai silang pendapat dan perjuangan kepentingan di ruang publik bernama Republik Indonesia ini. Ruang publik kita benar-benar gaduh, dan itu sangat nyata menjelang Pilkada DKI, menjelang dan selama Pilkada serantak kemarin, dan hampir dipastikan beberapa bulan ke depan menjelang penetapan calon presiden, calon wakil presiden, anggota dewan perwakilan rakyat dan anggota dewan perwakilan daerah.

Para politisi dan kelompok-kelompok terkait bicara soal siapa yang pantas memimpin suatu daerah, seharusnya dari golongan apakah dia, apakah dia bercacat atau nyaris sempurna, apakah dia bisa memperjuangkan kepentingan kita atau tidak, dan seterusnya.

Kita juga ribut soal apakah calon anggota dewan haruslah orang yang bersih alias bukan mantan napi tindak pidana korupsi atau tidak (syukurlah sebuah parpol besar mulai tunduk dan menerima ketentuan KPU ini). Publik kita juga dipusingkan dengan siapa yang akan menjadi wakil presidennya Pak De, siapa lawan Pak De dalam Pilpres mendatang, apakah lawannya satu pasang atau dua pasang, dan sebagainya.

Semua itu menjadi seperti drama. Kadang kita terkejut ketika ada tokoh penting merapat --atau malah menjauh-- ke kubu kekuasaan. Kita juga sudah mulai terbiasa dengan berbagai manuver tak terduga dari pihak kekuasaan yang dalam caranya yang brilian, menekuk lawan-lawannya, dan tampaknya berhasil. Kita juga mulai melihat minat tokoh tertentu yang tampaknya mulai mengincar kursi RI 1 atau RI 2 dengan menggunakan kursi kepala daerah sebagai batu loncatan (sepertinya mengopi-paste jejak Pak De), tetapi sayangnya, jejak keberhasilannya belum cemerlang di daerah yang dia pimpim.

Mengikuti dan mengalami seluruh kegaduhan ini, saya hanya bisa berpikir dan bertanya. Dan pertanyaanku ini sangat usang dan mungkin juga tidak penting. Tetapi itu menyangkut motivasi memperoleh kekuasaan. "Apakah yang sedang diributkan hari-hari ini sungguh-sungguh sebuah upaya mencari dan menemukan pemimpin terbaik yang dipercaya dapat memimpin negeri ini mencapai kehidupan yang adil dan makmur, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam wadah NKRI? Apakah para pemimpin yang terpilih nanti sungguh-sungguh menghayati kekuasaan sebagai alat dan sekadar alat untuk merealisasikan kebaikan bersama, dan bukan alat untuk memperbesar dan melanggengkan kekuasaan?

Pertanyaan ini kedengarannya kuno, aneh, dan tidak kekinian. Akan ada orang yang bertanya balik, "Hari gini koq masih menganut pemikiran bahwa kekuasaan itu hanya alat untuk merealisasikan kebaikan bersama yang steril dari kepentingan diri, kelompok dan golongan? Bukankah kekuasaan harus direbut dengan cara apa pun, isinya baru diberikan kemudian? Dan karena itu, adagium "tujuan menghalalkan cara" dapat dianggap wajar dan sah?

Nah, di sinilah susahnya. Secara pribadi, saya selalu trenyuh melihat ribuan orang di suatu waktu mengeluh-eluhkan calon pemimpin yang tampil gagah berani, duduk di atas kuda kebesarannya atau menunggangi mobil milyaran rupiah. 

Saya juga takjub menyaksian ribuan orang yang manggut-manggut dan histeris mendengar calon pemimpinnya mengucapkan janji-janji dan membalutnya dengan ayat-ayat suci. Dan saya heran ketika segelintir orang yang sebenarnya adalah orang-orang cerdik dan pandai --ada yang guru besar emeritus, ada yang sarjana dari perguruan tinggi terkemuka-- yang menyesatkan rakyat dengan memainkan simbol-simbol keagamaan demi meraih dukungan politik.

Ini semua membuktikan bahwa kita di republik ini baru ada pada level merebut kekuasaan --dengan cara apa pun. Kita belum sampai pada level pemahaman, bahwa menjadi pemimpin itu memang sebuah kepercayaan (ini juga sering didengungkan, misalnya orang terus berteriak bahwa pemimpin itu amanah, tetapi di balik kata-katanya dia sebenarnya ingin mengatakan bahwa pemimpin yang amanah itu adalah aku atau orangku atau kelompokku). Itulah sebabnya mengapa demokrasi kita masih sebatas demokrasi prosedural dan belum masuk ke tahap demokrasi substantif.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dilahirkan dalam sebuah proses panjang dan bukan karbitan dalam waktu singkat. Setidaknya dia telah teruji mengerjakan suatu hal pada lingkup kecil demi kebaikan dan kemaslahatan publik, dan kerja kerasnya itu berhasil. 

Keberhasilan kecil inilah yang menjadi semacam jaminan, bahwa dia akan mampu mengerjakan hal atau pekerjaan yang lebih besar dengan cara yang baik dan sukses. Dan itu adalah sebuah kerja nyata, bukan komoditas dagangan yang laris tidaknya ditentukan oleh berbagai kata-kata manis dan membual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun