Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Politi(k)sasi Agama

29 Juni 2018   21:23 Diperbarui: 29 Juni 2018   22:02 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemisahan negara dan kekuasaan politik dari agama adalah sebuah pilihan. Jika kita tidak memilihnya, kita harus memikirkan cara terbaik dalam menyelenggarakan negara di mana agama dan ajarannya menjadi inspirasi. Sumber: timtyson.us

Indonesia tidak mengenal pemisahan antara negara dan agama dalam praktik politik seperti yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Di Eropa, gagasan pemisahan itu dikembalikan ke John Locke (1632-1704), terutama pemikirannya mengenai kontrak sosial. John Locke menegaskan pentingnya hati nurani individual yang tidak boleh dikooptasi negara. 

Dari sinilah lahir hak-hak kodrati atas kebebasan hati nurani yang dalam praktik politik memang harus bebas dari berbagai upaya penguasaan negara. Pemikiran ini juga yang menjadi dasar bagi toleransi beragama, bahwa eksistensi agama harus diakui, bahkan ketika warga negara yang menolak menaati kebijakan tertentu karena bertentangan dengan suara hati dan ajaran agamanya.

Pemisahan agama dan negara sangat eksplisit, misalnya dalam surat Thomas Jefferson kepada Danbury Baptist Association tahun 1802. Jefferson menggunakan frasa "dinding pemisah antara gereja dan negara." Praktik politik di Amerika Serikat setelah Amandemen Pertama Konstitusi menjadi tonggak pemisahan gereja dan negara, ketika negara tidak diperkenankan mencampuri agama dan ibadah.

Kesepakatan para pendiri negara Indonesia soal mukadimah -- dan terutama soal Pancasila -- pada tanggal 18 Agustus 1945 memang bukan sebuah konsensus pemisahan agama dari negara. Meskipun demikian, hemat penulis, inspirasi "pemisahan" agama dari negara dapat ditarik dari konsensus itu ketika setiap kelompok yang terlibat dapat penyusunan dasar negara secara sukarela menghilangkan "tujuh kata" dari Sila Pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta itu. Sejak awal berdirinya Republik ini, para pendiri sudah mencium bahaya disintegrasi bangsa jika penyelenggaraan negara didasarkan hanya pada satu agama saja.

Kita memang tidak mengenal pemisahan tegas agama dan negara, dan itulah sumber masalah yang kita hadapi dan kini menjadi semakin menguat. Menjelang hajatan politik semisal pemilihan kepala daerah, pemilihan wakil rakyat, atau pun kepala negara, ruang publik kita penuh dengan simbol-simbol keagamaan yang dikapitalisasi sekelompok orang demi mendulang suara dan merebut kekuasaan. 

Demikianlah, terlalu sering dikumandangkan bahaya pemimpin kafir, kepala pemerintahan tidak amanah, penguasa dzolim, dan yang paling akhir adalah wacana koalisi (ke)umat(an). Jargon-jargon ini menimbulkan rasa gentar tertentu pada masyarakat persis ketika jargon-jargon itu dipinjam dari ideologi politik keagamaan atau teologi politik teistik tertentu yang ketaatan padanya bersifat mutlak.

Pemisahan agama dan negara memang bukanlah agenda politik yang harus digolkan, tetapi dengan catatan agama diposisikan hanya sebagai penyedia narasi bagi proses pemaknaan politik di ruang publik. Dalam arti itu, agama dengan ajaran moral dan sosialnya didorong untuk menyediakan amunisi bagi pemikiran dalam pertukaran gagasan demokratis di ruang publik demi kebaikan bersama.

Tetapi itu tidak terjadi. Kita justru sedang menghadapi masalah serius persis ketika keberhasilan praktik diskursus publik mengandaikan keterbukaan warga dalam menerima dan mengapresiasi pluralitas rujukan nilai pada depot pengetahuan dan sumber wahyu ilahi yang berbeda. 

Dan ketika mayoritas warga Indonesia belum memiliki keterbukaan ini -- juga karena pengajaran agama yang sifatnya indoktrinatif -- kita justru disuguhi kapitalisasi jargon-jargon politik yang sumbernya berasal dari depot pengetahuan teologis atau doktriner agama. Dan ketika masyarakat kita tidak memiliki perspektif lain dalam memahami proses politik, mereka membangun kesadaran politiknya berdasarkan rujukan pada jargon-jargon politik semacam itu.

Suka atau tidak, diskursus publik kita diwarnai oleh aneksasi simbol atau jargon keagamaan yang menembusi kedalaman hati nurani warga yang secara perlahan kemudian membentuk kesadaran sekaligus pilihan politik. 

Celakanya, mayoritas masyarakat tidak menyadari bahwa kapitalisasi simbol dan narasi keagamaan semacam ini sebenarnya adalah politisasi agama secara sangat halus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun