Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku Ingin Menjadi Dosen Etika

21 Maret 2018   17:08 Diperbarui: 21 Maret 2018   17:14 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis ketika sedang mengajar filsafat (dokpri)

Sudah lama sekali, mungkin lebih dari seperempat abad yang lalu. Teringatlah aku pada petuah seorang pastor (Katolik), "Yeremias, kamu akan merasa bangga dan hatimu diliputi rasa syukur jika suatu hari seorang anak didikmu datang kepadamu, meminta pendapat dan nasihatmu karena ia ingin menjadi pastor." Pastor berkebangsaan Spanyol itu pun melanjutkan, "Jangan pernah bangga akan banyaknya seminaris yang sudah kamu didik, tetapi pada berapa banyak dari mereka yang memutuskan menjadi pastor berkat nasihat dan pendampinganmu."

Saya tiba-tiba teringat pada petuah ini ketika tiba-tiba saja seorang mahasiswa saya (mahasiswa kedokteran) minta waktu ingin ketemu. "Pak, apakah Bapak ada waktu untuk ketemu?" tanya mahasiswa itu. Sesibuk apapun saya biasanya memprioritaskan waktu untuk bisa berbicara dengan mahasiswa. Dia pun akhirnya datang ke departemen etika/filsafat tempat di mana saya (dan beberapa teman) bekerja.

Mau tau apa yang dia tanyakan? Sambil menghela nafas panjang, si mahasiswa itu mengatakan, "Pak, tolong bantu saya memberikan gambaran bagaimana saya bisa menjadi dosen etika".

Saya terkejut, tetapi sekaligus bangga. Di departemen saya sudah ada 3 orang etika. Dua orang berlatar belakang dokter bidang kesehatan (medical doctor), tetapi kemudian yang satu mengambil strata dua dan strata tiga bidang filsafat sementara yang satunya lagi menempuh studi strata dua bidang hukum kedokteran dan mengulang strata satu bidang hukum. Saya sendiri yang seorang filsafat (murni) sejak tingkat sarjana, pasca sarjana dan doktoral dengan pendidikan tambahan pada bidang etika kedokteran (level master).

Dan kini mahasiswa saya ini ingin menjadi dosen etika? Tentu saya sangat senang dan menyambut baik. Dua atau tiga tahun belakangan saya suka "memuji" mahasiswa yang pintar, terutama ketika mereka presentasi di kelas atau ketika diskusi pemecahan masalah etis. Ini saya lakukan dengan sengaja dan dengan maksud agar mereka tertarik menjadi dosen etika/flsafat. Saya tampak seperti sedang menebarkan "jala", tetapi "jala" itu belum berhasil menjerat seekor ikanpun. Dan ketika saya tidak sedang memikirkan apakah ada "ikan" yang akan terjerat, tiba-tiba saja ada "ikan" yang datang.

Ini tentu sebuah berkat, juga bagi Universitas di mana saya bekerja. Saya akan berusaha untuk memelihara api semangat ini dalam diri mahasiswaku. Diam-diam saya berjanji dalam hati untuk mendorong dia menjadi dokter umum yang baik dan setelah itu membantu dia dengan pendidikan strata dua bidang etika/filsafat atau humaniora kedokteran lainnya.

Tuhan Ikut Memelihara

Ini sebuah peristiwa sederhana, tetapi mengapa begitu membekas dan mengena di hati saya? Tiga hal ini terlintas dengan kuat dalam refleksi saya. Pertama, keterkejutan saya pada niat mahasiswa tersebut yang ingin menjadi dosen etika/filsafat tampaknya dipengaruhi oleh rendahnya penghargaan masyarakat pada bidang filsafat (juga sastra). Biasanya ketika orang tahu saya seorang filsuf, pertanyaan yang muncul adalah apa bidang kerjanya? Pertanyaan yang lebih merendahkan adalah "filsafat bisa apa?"

Setiap pendidik melakukan apa yang pernah dilakukan Socrates. Dia mendidik orang untuk bisa berpikir. (Sumber: http://thedailyquotes.com/make-them-think/)
Setiap pendidik melakukan apa yang pernah dilakukan Socrates. Dia mendidik orang untuk bisa berpikir. (Sumber: http://thedailyquotes.com/make-them-think/)
Dunia akademik di Republik ini pun lebih menghargai ilmu-ilmu alam dan teknis daripada ilmu-ilmu humaniora. Lihatlah bagaimana seluruh penghargaan pada penelitian diberi porsi yang besar dan nilai yang tinggi pada ilmu-ilmu eksakta. Bahkan ketika para asesor membaca publikasi orang filsafat/sastra, mereka mencemohnya sebagai bukan penelitian. Jadi, ketika orang memilih menekuni filsafat, itu adalah pilihan yang sudah pasti tidak menguntungkan, baik dari segi akademik maupun dari segi penerimaan masyarakat.

Kedua, dihubungkan dengan kata-kata sang pastor di atas, saya kira peran keteladanan ikut berpengaruh. Seorang pendidik pasti menjadi panutan, sadar atau tidak. Cara dia mengajar, cara dia berinteraksi, cara dia menghargai mahasiswanya, bahkan pilihan kata dan kalimatnya, menjadi penanda tersendiri, bahwa dia datang dari kelas yang berbeda. Tentu juga tingkah laku dan perbuatannya. Dalam arti itu, saya merasa terhibur bahwa keteladanan yang coba saya hidupi bisa memberikan buah, meskipun belum banyak.

Ketiga,  menjadi pendidik harus dihayati sebagai sebuah panggilan, sebuah tugas suci. Ini adalah profesi mulia. Ini sebuah perutusan untuk mendampingi anak-anak muda. Ini sebuah kesempatan emas "mengubah serigala menjadi domba". Dan kesempatan itu -- dalam kacamata iman saya -- tidak diberikan oleh diriku sendiri, juga oleh institusi tempat saya bekerja. Ia datang dari ATAS, dari Tuhan sendiri yang telah lebih dahulu mengenal saya dan mempersiapkan karya ini untukku. Dalam perspektif yang lebih religius ini, saya melihat peran Tuhan. Dia hadir di waktu yang tepat. Dia ikut memelihara panggilan menjadi pendidik, dan melalui saya hamba-Nya ini, panggilan menjadi pendidik itu -- mudah-mudahan -- dapat direalisasikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun