Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tentang Kritik Amien Rais terhadap Presiden Jokowi dan Rasa Jijik Moral

20 Maret 2018   09:21 Diperbarui: 21 Maret 2018   16:20 4483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Amien Rais dan Jokowi sebagaimana dikolase oleh TribunWow. Sumber: tribunnews.com

"Jika Anda tidak memikirkan sesuatu, hal itu tidak menjadi berarti. Orang menderita karena berpikir lebih dan lebih daripada yang lainnya."

Itulah rangkaian kata yang aku baca pagi ini di Transjakarta dalam perjalanan ke kantor. Adalah Leo Tolstoy, sastrawan maha besar dari Rusia itu menuliskannya dalam sebuah cerita pendek berjudul "Sevastopol, Desember 1854" (Leo Tolstoy, Kumpulan Cerita Pendek Terbaik, Penerbit Indoliterasi, Yogyakarta, 2018: 7).

Kisah ini mengambil latarbelakang pengepungan Kota Pelabuhan Sewastopol, kota terbesar kedua di Ukraina yang terletak di Semenanjung Krimea, menghadap ke Laut Hitam. Pengepungan ini sendiri dilakukan oleh sekutu (Prancis, Ottoman, dan Inggris) dalam Perang Krimea. Kota yang menjadi markas Armada Laut Hitam Angkatan Laut Rusia ini dikepung sejak September 1854 hingga September 1855.

Berbekalkan sekurangnya 50 ribu tentara, sekutu merangsek masuk ke pertahanan, berperang sengit sepanjang 56 Km dan menaklukkan setidaknya enam benteng pertahanan tentara Rusia.

Leo Tolstoy melukiskan situasi penderitaan para tentara dengan kalimat-kalimat yang brutal dan menyayat. Membacanya, kita seperti mencium bau darah, mendengar sendiri dentuman meriam, ikut merasa sakit membayangkan para tentara yang terkena bom, yang bagian tubuhnya tercabik-cabik atau yang jadi cacat seumur hidup.

Kita juga gemetar membayangkan penderitaan yang dialami para tentara ketika bagian tubuhnya yang cacat harus diamputasi dengan teknologi kedokteran yang pada zaman ini belum canggi sehingga menyisakan rasa sakit yang luar biasa pada diri pasien.

Dalam konteks inilah kita bisa memahami kata-kata Leo Tolstoy di atas. Sebagai informasi, Tolstoy bukan seorang sastrawan biasa. Dia adalah seorang pemikir, filsuf moral, tetapi juga seorang pasifis yang anti perang dan anti kekerasan. Apa yang digambarkan Tolstoy dalam untaian kalimat yang menyayat hendak membawa kita ke level kejijikan dan rasa muak moral (moral disgusting) pada perang dan kekerasan.

Rasa muak moral sendiri sebenarnya adalah tanggapan atau reaksi emosional seseorang, termanifestasi dalam sikap penolakan, perlawanan, ketidaknyamanan, ketidaksukaan, dan semacamnya. Reaksi ini muncul karena dorongan pemberontakan dan perlawanan dari dalam diri. Reaksi ini dialami pertama-tama dalam hubungannya dengan indera perasa (entah karena pemahaman atau imajinasi akan sesuatu keadaan).

Tetapi rasa jijik moral juga lahir karena perasaan yang ditimbulkan oleh indera penciuman (membaui), sentuhan, atau penglihatan. Dalam konteks pemikiran ini, menurut saya, Leo Tolstoy berhadil membangkitkan perasaan itu dalam diri pembacanya. Harapannya tentu adalah terbentuknya sikap penolakan bahkan perang melawan segala bentuk kekerasan dan perang yang menjadi sumber munculnya perasaan jijik moral itu.

Kritik Amien Rais

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun