Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Korupsi, Demokrasi dan Peran Kita

14 Desember 2012   00:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:42 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Merayakan hari anti korupsi sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Desember, kita menghadapi fakta pemberantasan korupsi yang belum efektif. Transparency International tahun 2011 menempatkan Indonesia di peringkat 183 dalam indeks persepsi korupsi, padahal lima tahun sebelumnya di urutan ke-144. Ini menunjukkan belum adanya keseriusan memberantas korupsi di negeri ini. Ini juga diamini oleh 1.103 responden yang disurvei MNC Media Research di 10 kota besar di Indonesia di mana 71 persen menyatakan bahwa pemberantasan korupsi memang buruk (Okezone.com, 5/8/2012).

Konvensi PBB 2005 menegaskan bahwa pemberantasan korupsi adalah tugas kita semua. Ketika pemerintah gagal memberantas korupsi, apakah kita harus tinggal diam? Dapatkah demokrasi dan gerakan sipil warga negara mempercepat pemberantasan korupsi di republik ini?

Musah Bersama

Pidato Sekjen PBB Ban Ki-moon pada hari anti korupsi sedunia sejak tahun 2008 menunjukkan secara jelas bahaya korupsi dan tanggung jawab moral setiap orang untuk mencegahnya. Bagi Ban Ki-moon, korupsi melemahkan pilar-pilar demokrasi, meremehkan peran hukum, dan dengan begitu juga merugikan hak-hak warga negara dalam mewujudkan kesejahteraannya (Pidato 2008 dan 2009).

Ban Ki-moon menekankan lebih lanjut dalam pidatonya pada hari anti korupsi di tahun 2009, bahwa masyarakat miskin dan terpinggirkan justru akan menjadi korban utama korupsi persis ketika perampokan uang negara mempersulit investasi, menghambat pembangunan infrastruktur, melemahkan akses kepada pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan akhirnya gagal memutus mata rantai kemiskinan. DI sinilah kita mengerti mengapa di tahun 2010 Ban Ki-moon mendesak para pemimpin bisnis untuk melawan korupsi. Dan ketika pemberantasan korupsi seperti berjalan di tempat, Ban Ki-moon kembali menegaskan pentingnya melawan korupsi sebagai musuh bersama (Pidato tahun 2011). Mengulang salah satu isi Konvensi PBB tentang Anti Korupsi, Ban Ki-moon menegaskan, “Kita semua punya tanggung jawab untuk bertindak melawan kanker korupsi.”

Seruan bahwa korupsi adalah kejahatan yang harus dilawan bersama juga sering dikemukakan di Indonesia. Sangat sering pejabat publik, tokoh masyarakat, bahkan tokoh agama memproklamirkan perang melawan korupsi. Kita masih ingat bagaimana para pemimpin Nadhatul Ulama dalam Munas NU di Cirebon bulan September 2012 menyerukan pemboikotan terhadap pembayaran pajak jika pemerintah tidak serius memberantas korupsi. Tetapi fakta tetap saja berbicara lain. Data Kemendagri menunjukkan bahwa selama tahun 2004–2012, ada 2.976 anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang terlibat kasus korupsi dengan jumlah kasus sebanyak 155 yang melibatkan kepala daerah. Sayangnya hanya 37 dari 155 kasus yang melibatkan kepala daerah mampu diselesaikan KPK (Okezone.com, 5/8/2012).

Memakai analogi Ban Ki-moon bahwa korupsi adalah kanker yang harus diperangi bersama, cara penanganan yang ditempuh pemerintah Indonesia hanya akan mempercepat penyebaran kanker korupsi itu ke seluruh tubuh republik. Dan ketika kita kalah cepat dengan penyebaran kanker korupsi itu, negeri ini akan semakin terpuruk dan memburuk perkembangan ekonominya. Korupsi sebagai musuh bersama mengandaikan kesadaran semua warga negara, bahwa eksistensi kita sedang diancam, bahwa keberlangsung hidup kenegaraan kita sedang dipertaruhkan. Kesadaran inilah yang diharapkan dapat memicu sikap mau terlibat untuk memberantas korupsi.

Membasmi Kanker Korupsi

Syarat keterlibatan warga negara dalam memberantas korupsi adalah kesadaran akan kegentingan situasi dan kerusakan yang ditimbulkan korupsi itu sendiri. Media massa sebagai salah satu pilar demokrasi memainkan peran teramat besar dalam menginjeksikan kesadaran itu, dengan catatan bahwa pemberitaan mengenai korupsi dan dampak-dampaknya harus terus dilakukan secara gencar dan mendalam. “Gencar” karena selalu saja ada upaya pihak tertentu yang ingin mengalihkan isu korupsi ke kasus lain. Frekuensi pemberitaan diharapkan dapat mengalahkan upaya pengalihan isu tersebut. Pemberitaan juga harus “mendalam” demi mengungkapkan otak dan pelaku utama di balik setiap kasus korupsi. Kasus Hambalang yang mendapat porsi pemberitaan yang gencar dan mendalam dari media massa yang berujung pada terjeratnya Andi Alfian Mallarangeng sebagai tersangka dapat menjadi contoh peran dan kontrol media massa dan rakyat itu sendiri. Hal yang sama juga diharapkan akan terjadi pada kasus-kasus besar lain seperti simulator SIM, Bank Century, korupsi di Kemendiknas, dan lainnya.

Keterlibatan warga negara memberantas korupsi harus lebih gencar dikampanyekan di semua lini. Ini penting karena secara budaya masyarakat kita cenderung permisif terhadap praktik korupsi. Sebagaimana diingatkan almarhum Prof. Umar Kayam dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar di UGM tahun 1989, pejabat publik yang menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kerabat secara budaya dianggap sebagai ungkapan kebaikan hati dan bukan korupsi. Secara budaya, korupsi juga disalahpersepsi sebagai ekspresi kekuasaan. Dalam konteks inilah perjuangan menyadarkan masyarakat untuk melawan korupsi menemukan halangan budaya yang tidak mudah diatasi.

Alejandro Moreno, dalam sebuah tulisannya berjudul Corruption and Democracy: A Cultural Assessment (2010) juga menegaskan hal yang sama. Penelitiannya di lebih dari 60 negara di dunia menunjukkan bahwa demokrasi dan keterbukaan ternyata tidak menggerakkan masyarakat untuk bangkit melawan korupsi persis ketika sikap permisif itu ada sebagai lapis kesadaran yang sulit dihilangkan. Ini juga yang menjadi salah satu penyebab mengapa pemberantasan korupsi di Pakistan tidak pernah bisa berhasil (Ali Moeen Nawazish, Why Does Corruption Persist in Democracy: 2010).

Di titik inilah pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi sulit diatasi. Pertama, lapis budaya yang keliru mengenai korupsi seharusnya dibersihkan dari kesadaran masyarakat. Pemurnian kesadaran ini dapat dilakukan melalui pendidikan atau lewat pemberitaan, ulasan, atau liputan mendalam media massa.

Kedua, aparat penegak hukum kita masih setengah hati dalam memberantas korupsi. Padahal rekomendasi World Bank mengenai korupsi di Indonesia (2003) menyatakan bahwa korupsi hanya bisa diatasi jika penegak hukum bersikap tegas, pasti, dan adil, selain pentingnya menghapus impunitas terhadap pihak-pihak tertentu yang selama ini tidak tersentuh hukum. Tekanan masyarakat dan kontrol media massa dapat mendorong penegak hukum untuk semakin berani menjerat para pelaku tindak korupsi.

Ketiga, kontrol masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi hanya dapat terjadi dalam praktik politik yang demokratis dengan media massa sebagai agen pengendali. Kita berharap, akses masyarakat terhadap media massa yang mengangkat kasus korupsi atau yang mengedukasi sikap anti korupsi akan semakin meningkat di tahun mendatang. Ini penting bagi upaya pembentukan kesadaran akan kegentingan situasi penyebaran kanker korupsi sekaligus dorongan untuk terus terlibat memerangi korupsi. Hanya dengan cara inilah kita akan mampu mengalahkan ganasnya kanker korupsi.[]

Keterangan: Tulisan ini sudah pernah diterbitkan di Harian Suara Pembaruan, 8 Desember 2012.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun