Sangkalan:
Tulisan ini disusun seobjektif mungkin dan sama sekali tidak bermaksud untuk menyatakan dukungan maupun penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.
Senin, 5 Oktober 2020, DPR-RI menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja untuk menjadi undang-undang. Sebanyak enam fraksi di DPR-RI mendukung RUU ini menjadi undang-undang, yakni fraksi PDI-Perjuangan, fraksi Partai Golkar, fraksi Partai Gerindra, fraksi Partai NasDem, fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).Â
Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) menerima RUU ini menjadi Undang-Undang dengan sejumlah catatan, sedangkan fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak RUU ini menjadi Undang-Undang.
Sejak diusulkan oleh pemerintah, RUU yang kerap disebut sebagai Omnibus Law ini memang menyita perhatian dan menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan di masyarakat.Â
RUU yang digadang-gadang akan menciptakan lapangan pekerjaan dan menarik lebih banyak investasi masuk ke Indonesia ini menuai sejumlah kritikan, mulai dari pembahasannya yang dianggap teramat cepat dan dianggap tidak menyerap aspirasi masyarakat, penyusunan RUU yang cacat prosedur dan tidak transparan, hingga substansi Omnibus Law yang dianggap menyengsarakan pekerja, merusak lingkungan hidup dan lebih memihak kepada kepentingan investor.
Pro dan kontra mengenai RUU ini pun mencapai kulminasinya ketika RUU ini disahkan dalam rapat paripurna DPR-RI. Lini masa berita daring dipenuhi berita buruk mengenai sejumlah pasal yang akan merugikan jika RUU ini berlaku maupun ketidak setujuan sejumlah pihak atas berlakunya RUU ini menjadi Undang-Undang.Â
Di media sosial, warganet ramai-ramai menyerukan bahwa dengan pengesahan RUU Cipta Kerja DPR-RI dan Pemerintah tidak lagi berpihak kepada rakyat kecil dan lebih memihak kepada investor-investor yang akan menghancurkan negeri.Â
Di media sosial Twitter muncul sejumlah tagar yang mencemooh DPR-RI atas pengesahan RUU Cipta Kerja ini, bahkan salah satu tagar bertuliskan kata makian yang amat kasar.
Memang, meskipun DPR-RI yang menyetujui apakah sebuah RUU layak disahkan menjadi Undang-Undang setelah dibahas bersama dengan pemerintah, kita sebagai masyarakat berhak memberikan argumentasinya terhadap RUU ini, baik itu kesetujuan maupun ketidak setujuan.Â
Namun yang jelas, dalam berargumentasi ini hendaknya kita mendasarkan argumentasi kita dengan fakta yang ada. Hendaknya juga kita sebagai masyarakat berargumentasi bahwa sebuah RUU akan menguntungkan maupun merugikan masyarakat dengan mengacu kepada isi sebenarnya dari sebuah RUU.