Mohon tunggu...
Jeny Tarigan
Jeny Tarigan Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Dalam setiap tarikan nafas aku belajar. Tapi aku lebih sering tidak sadar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ibu, Feminis Pertamaku

7 Desember 2020   00:25 Diperbarui: 7 Desember 2020   00:58 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ibuku, feminis pertamaku. Bahkan dari sebelum saya pernah mendengar kata "feminis". Ibu saya mengajarkan saya nilai-nilai yang ia yakini, dan benar-benar melakukannya. Itu metode mengajar paling baik yang mungkin bisa dilakukan orang tua pada anaknya, dan nilai itulah warisan dari hidup orang tua untuk dilanjutkan kami anak-anaknya. 


Saya cukup beruntung dibesarkan oleh ibu, yang seorang guru, yang berdedikasi pada profesinya, yang memahami dan menerima saya, yang mengakui saya sebagai anaknya, yang berusaha mencukupi kebutuhan saya, yang mengajarkan nilai-nilai hidupnya pada saya, yang memaafkan saya, yang masih ada ketika melahirkan saya, dan ada sampai saya bisa menuliskan ini. Banyak yang tidak seberuntung saya dalam hal being a daughter who has a mom (menjadi seorang anak perempuan yang memiliki ibu). Tapi ada juga yang lebih beruntung. Apa sebenarnya definisi "beruntung"? Entahlah, saya tidak bisa membandingkan kondisi saya dengan anak lain. Saya hanya tidak ingin lupa bersyukur, punya ibu yang seperti ibu. Yang kami anak-anaknya panggil dengan "Mamak".


Kata-kata yang saya gunakan di atas untuk menggambarkan Mamak, tidak cukup menerangkan bagaimana Mamak berjuang untuk membesarkan kami sekaligus mencari nafkah. Dengan Mamak berjuang, Mamak mengajarkan kami anak-anaknya tidak selalu dengan kata-katanya karena tangannya biasanya juga sibuk melakukan sesuatu. Mamak bersikap lembut, Mamak tertawa, Mamak menenangkan, Mamak melerai, Mamak menyapu, Mamak bercanda, Mamak marah, Mamak mencubit, Mamak melotot, Mamak memeluk, Mamak memijat, Mamak masak, Mamak bercerita, Mamak menyuapi, Mamak mengobati, Mamak menangis, Mamak mendengarkan, Mamak menyambut, Mamak mengantar, Mamak tertidur kelelahan...


Itupun hanya hal-hal yang saya lihat, dan saya baru lahir setelah tujuh tahun Mamak menjadi ibu. Kedua abang saya pasti melihat lebih banyak. Tapi tidak apa-apa. Walaupun banyak beredar anggapan "kasihan anak bungsu, paling singkat punya ibu", saya sendiri tidak merasa Mamak kurang memberi waktu dan hatinya untuk saya, untuk kami semua. Malah Mamak yang merasa kasihan pada saya karena Mamak merasa dirinya tidak sekuat dulu ketika menjaga anak saya, cucunya yang ke-6. Saya tidak menyesalkan urutan lahir saya atau kekuatan dan kelincahan Mamak yang mau tidak mau akan berkurang, tunduk pada usia. Tetap saja untuk ukuran oma-oma, Mamak masih tetap lincah, kuat, dan semangat. Saya menyesal, mengapa saya tidak menyadari kehebatan Mamak dari dulu dan benar-benar mendengarkan Mamak, bahkan sering saya menyakiti hati Mamak.


Sepanjang pengetahuan saya, adat budaya Karo, di lingkungan mana kami dibesarkan, cukup kental dengan patriarki (mungkin ini sangat umum di Indonesia). Di sekolah dulu (saya selama satu tahun sempat menjadi murid di kelas Mamak sendiri) Mamak berkali-kali dan dengan berapi-api mengatakan bahwa "kodrat perempuan cuma dua: melahirkan dan menyusui. Selainnya sama saja sama laki-laki." Sejujurnya saya lupa mengapa kata-kata itu muncul karena sepertinya kami belum belajar topik seperti sosiologi atau psikologi semacam itu di kelas 6 SD. Dan seingat saya pun Mamak (dan para murid) paling berapi-api dalam pelajaran Matematika dan planet-planet (dalam subjek Ilmu Pengetahuan Alam tapi bagi saya entah kenapa belajar tentang planet lebih seru daripada hewan dan tumbuhan). Sebagai anak perempuan ketika mendengarkan itu, tentu saja pola pikir saya terbentuk menjadi merasa layak punya cita-cita macam-macam dan pada waktu itu saya berpikir untuk menjadi seorang...arkeolog. Karena Indiana Jones dalam film itu keren. Dan saya juga ingin "keren". Saya memanjat, malas memakai rok, senang memakai baju lungsuran abang-abang saya (ini cukup saru antara memang senang atau terpaksa, yang pasti saya tidak keberatan). Saya juga sering pura-pura menjadi koboi, menunggangi anjing saya yang pasrah diduduki di pinggir jalan raya, sampai Mamak memarahi saya karena bertingkah seperti orang gila. Mamak dan Guru Sekolah Minggu saya mengingatkan saya agar bertingkah seperti stereotip anak perempuan: lembut, memakai rok, belajar memasak, belajar berdandan, dan lain-lain. 


Sekarang saya sudah lebih besar, dan sudah tidak ingin menjadi arkeolog versi Indiana Jones lagi. Lagipula, sekarang saya tahu arkeolog pekerjaannya tidak dramatis seperti Indiana Jones, tapi ternyata keren juga karena njelimet dan harus banyak sekali membaca dan memahami sejarah. Ketika Mamak dulu menerangkan tentang "kodrat" perempuan adalah melahirkan dan menyusui, mungkin sekarang saya lebih menggolongkan kemampuan "melahirkan dan menyusui" sebagai sebagian dari karakteristik pembeda. Karena bagaimanapun juga, secara biologis sudah jelas laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki juga tidak menstruasi, memiliki rahim, kelenjar penghasil susu, dan lain-lain. Perempuan juga tidak memiliki jakun seperti laki-laki. Tapi, perempuan juga ada yang tidak bisa hamil, ada juga yang tidak bisa mengeluarkan ASI. Selain itu, ada juga yang memang tidak hamil dan tidak menyusui karena pilihan. Tapi tetap saja merujuk dirinya sebagai perempuan, dan mereka tentunya tidak salah. Jadi apa kodrat yang dimaksud Mamak dulu? Apakah jika perempuan tidak hamil atau tidak menyusui, ia bukan perempuan yang benar-benar perempuan?


Mungkin yang dimaksud Mamak dulu adalah jangan membatasi diri dengan karakteristik lain yang disematkan oleh lingkungan. Apalagi terjebak pada stereotip "perempuan itu lemah", "laki-laki harus melindungi perempuan", "perempuan harus ditemani kemana-mana", dan lain-lain semacam itu. Mamak mengajarkan saya (dan semua muridnya) untuk membela dan menolong diri sendiri, lepas dari apapun jenis kelaminnya. Sepertinya sifat seperti itu tertempa karena rasa tanggung jawab sebagai anak pertama dari lima bersaudara. Selain itu, setelah menikah, Mamak juga sering tinggal terpisah dengan Bapak karena Bapak bekerja di desa lain dan pulang di akhir pekan. Otomatis Mamak terbiasa mengatasi semua tantangan rumah tangga dalam membesarkan anak sekaligus bekerja sebagai pengajar. Saya tak bisa membayangkan bagaimana jumpalitannya Mamak dulu. Mamak mengajarkan kami dengan perbuatannya, untuk tidak menyerah pada keadaan dan mengupayakan apa yang bisa dilakukan untuk bertahan hidup dengan semestinya. Masa kecil kami pun tidak pernah merasa kekurangan waktu dengan Mamak walaupun Mamak sibuk dan mungkin lelah fisik dan mental. Jika saya bertanya bagaimana Mamak dulu melakukannya, Mamak pun hanya menjawab "Yaaaa gitu, ditahankan."


Di minggu-minggu awal setelah saya melahirkan, jika ada teman yang bertanya "Bagaimana rasanya setelah menjadi ibu?" jawaban saya adalah "Saya mau minta maaf pada ibu." Tapi itu hanya jawaban versi singkat. Dalam semrawutnya pikiran saya (apalagi karena ketidakseimbangan hormon pasca melahirkan), saya bukan ingin minta maaf karena kesalahan saya (yang tentunya memang banyak pada Mamak), tapi saya ingin minta maaf karena keberadaan saya. Namun, sebagai ibu, saya juga merasakan perasaan sayang yang sebelumnya tak pernah ada, tercurahkan sepenuhnya untuk anak saya. Dalam lelah saya, saya diberi berkat -- anak saya -- yang walaupun ia tidak berkata apa-apa, saya tahu saya akan terus punya kekuatan untuk menyemangati dan menemaninya.

Sepertinya ibu-ibu memang seperti itu. Aku merasakannya dari Mamak.


Terima kasih, Mamak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun