Mohon tunggu...
Jen Latuconsina
Jen Latuconsina Mohon Tunggu... Dosen - Jen Latuconsina memiliki nama lengkap Muhammad Jen Latuconsina, S.IP, MA, yang biasa menggunakan nama pena M.J. Latuconsina. Lelaki berdarah Ambon ini, lahir di Masohi pada 30 Mei 1975 lampau. Ia meraih gelar S1 Ilmu Politik/Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanudin (2001), lantas meraih gelar S2 Ilmu Politik pada Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Gadja Mada (2008). Ia adalah seorang pribadi yang suka membaca, menulis dan fotografi. Ia banyak menghiasi media cetak lokal di Kota Ambon dengan berbagai artikelnya dalam bidang politik, pemerintahan, dan administrasi publik. Sebelumnya sejak tahun 2001 berprofesi sebagai jurnalis di Tabloid Catatan Kaki, Tabloid Suisma, Harian Info, Harian Ambon Ekspres, dan Tabloid Ekspresi. Pada tahun 2005 ia kemudian menekuni profesi dalam dunia akademik, dengan menjadi dosen pada Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pattimura.

Pria

Selanjutnya

Tutup

Politik

Civil Society Solusi Survive Hadapi Corona

2 April 2020   23:03 Diperbarui: 2 April 2020   23:05 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mendahuluinya meminjam ungkapan kotemplatif yang disampaikan Ambroise Paul Toussaint Jules Valéry (1871-1945), yang populer disapa Paul Valéry, seorang penyair berkebangsaan Prancis, yang pernah dinominasikan untuk Penghargaan Nobel Kesusastraan dalam 12 tahun berbeda bahwa, “jika negara kuat, itu menghancurkan kita. Jika lemah kita binasa.” Pemaknaan kata-kata sastrawan Prancis ini, sebenarnya berangkat dari praktik-parktik negara yang otoritarian di zaman dahulu kala, dimana  beradala dalam posisi kuat dengan bertindak semena-mena terhadap rakyatnya.

Begitu pula negara yang lemah menjadikan kita bak “homo homini lupus” suatu jargon yang diperkenalkan pertama kali oleh Titus Maccius Plautus (184 SM), yang lazim dikenal dengan nama Plautus, seorang penulis naskah drama Romawi pada zaman Latin Kuno, yang berarti “manusia adalah serigala bagi sesama manusianya.” Pasalnya dalam kondisi negara lemah pertanda terabaikannya rechtsstaat, yang menjadi supremasi bagi kontuinitas civil society dalam sebuah negara maupun aspek-aspek vital determinen public lainnya.

Dalam kondisi negara lemah dalam menghadapi pendemi Corona, sebanarnya rakyat tidak perlu risau jika saja konsepsi civil society dapat mereka realisasikan dengan baik. Untuk mempertegasnya kita mengadopsi pemikiran Adam Ferguson (1723-1816), seorang filsuf berkebangsaan Skotlandia, dimana ia memaknai civil society sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat untuk memelihara tanggung jawab sosial, yang bercirikan solidaritas sosial dan yang terilhami oleh sentimen moral serta sikap saling menyayangi antar warga secara alamiah.

Pada titik ini, maka tanggungjawab sosial, yang relevan dengan civil society dalam menghadapi pendemi Corona yakni, menyangkut dengan komitmen usaha untuk bertindak secara etis, dan sinirgis serta mandiri dari civil society tatkala negara belum optimal dalam menanggulangi pendemi Corona. Pada konteks inilah civil society dimaknai Alexis de Tocqueville (1805-1859), seorang filsuf berkebangsaan Prancis sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara, menurutnya civil society tidak apriori subordinatif terhadap negara, tetapi mempunyai sifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi yang mampu menjadi penyeimbang untuk menahan kecenderungan intervensi negara.

Atas dasar sifat otonom itu, maka tentunya rakyat yang terhimpun dalam civil society memiliki kemandirian dalam menghadapi pendemi Corona, dimana melalui tanggungjawab sosialnya dapat berupaya untuk menyiapkan sarana dan prasarana kesehatan secara swadaya, yang disupport pula oleh kebutuhan  pangan yang optimal secara swadaya. Sehingga bisa menghadapi pendemi Corona tanpa berusasah payah, guna meminta tanggungjawab negara yang sedang bergerak lambat, dengan kebijakannya yang cukup hati-hati pula, untuk memperhatikan rakyat dalam menghadapi virus yang mematikan itu.

Sebenarnya peran rakyat di tanair air, yang bergerak ke arah civil society dengan sikap otonom mereka, sudah ditunjukan di beberapa daerah, antara lain ; di  Papua, Tegal, dan Tasikmalaya dengan melakukan lockdown. Meskipun demikian masih menempatkan posisi negara di level lokal di tiga daerah ini, melalui Kepala Daerahnya (Gubernur/Walikota) sebagai pionir utama dalam melakukan lockdown. Namun demikian dipastikan rakyat pada ketiga daerah ini tidak hanya mengharapkan peran negara di level lokal melalau Kepala Daerah saja, melainkan mereka juga secara mandiri menghadapi pendemi Corona tersebut.

Posisi demikian menunjukan bergeraknya rakyat ke arah menguatnya civil society, yang berhadap-hadapan dengan negara di level nasional, yang enggan melakukan lockdown bahkan menginstruksikan daerah, untuk tidak melakukan lockdown secara sepihak dalam menghadapi pendemi Corona, yang mematikan itu. Mengakhirinya meminjam ungkapan Munir Said Thalib (1965-2004) yang biasa sapa Munir, seorang seorang aktivis HAM Indonesia keturunan Arab yang semasa hidupnya membela kaum papah di tanah air bahwa, “biarkanlah rakyat yang menentukan arah bangsa ini akan dibangun, dan bagaimana rakyat akan menjaga masa depannya, sebab rakyat pemilik sah konstitusi.”(M.J. Latuconsina).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun