Mohon tunggu...
Jen Kelana
Jen Kelana Mohon Tunggu... Mengajar -

Pejalan yang ingin terus berjalan. http://bolehsaja.net

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bingkai

31 Agustus 2016   06:15 Diperbarui: 31 Agustus 2016   07:43 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bolehsaja.net

Malam jatuh. Hitam menyelimuti hamparan angkasa. Kepak kelelawar terdengar di atas pohon talok yang menaungi kamar pondokkanku. Angin menyibak kain gorden menyingkap paha-paha mulus jendela. Kelam. Semakin hitam ketika titik air mulai merasuki telingaku melalui suara seng yang menyeruak simponi monoton. Kusimak deru angin bercampur hujan, seperti mantra-mantra liar yang sengaja ditebarkan oleh dukun-dukun yang kehilangan pekerjaannya. Sesekali blizt di cakrawala turut mewarnai lukisan malam ini, menerobos ventilasi hingga sekilas menyilaukan mataku.

Aku terbaring di sebuah dipan reot. Bersandar pada bantal kumal dan berkolaborasi dengan aroma iler menua. Tidak tahu sudah berapa bulan sarung bantal itu tidak tersentuh air. Sembari kutahan penciumanku, kusimak irama cempreng di luar. Hujan semakin gila. Hunjaman titik-titik air seakan-akan ingin meruntuhkan pondokkanku. Memekakkan telinga, apalagi disertai dengan suara guntur yang tiba-tiba menyala. Berkompetisi bersama deru angin. Seperti saling atas-mengatasi dan dulu-mendahului. Terkadang gemuruh terdengar seperti simponi alam hasil besutan Sang Maestro. Ritmis.

Kurapatkan sarung yang juga dekil ke tubuhku. Lumayan hangat, walaupun bau apek menderaku seketika. Bah brengsek, umpatku. Suasana pengap semakin menambah dingin. Dan semakin terlihat suram ketika cahaya lampu tempel hanya mampu menerangi seperempat ruangan. Dinding tempat terpajang satu-satunya sumber penerangan ini menjadi hitam. Membentuk penumbra. Segera kuberanjak ingin mengecilkan apinya. Namun, belum sempat aku turun dari pembaringan aku seperti terhipnotis oleh figura kosong tak jauh dari letak lampu tempel itu berada.

Orang-orang berlari serabutan sambil menjerit kesakitan. Berteriak-teriak dengan yel-yel yang tidak kumengerti. Brutal. Bahkan menjurus ke perbuatan anarkis. Perusakan tempat-tempat umum terjadi di mana-mana. Penjarahan toko-toko semarak menghiasi menghiasi kekacauan itu. Api menjalar ke segenap penjuru, melalap habis bangunan-bangunan ibadah. Sesekali terdengar letusan senjata api. Dan selanjutnya jeritan menyayat yang berkepanjangan. Kulihat juga bentrokan antar kelompok. Beringas dan saling bantai. Tak berprikemanusiaan. Nyawa manusia seperti nyawa seekor anjing saja layaknya. Tak berarti sama sekali. Astaga, gumamku.

Terpampang jelas di mataku kepala-kepala bergelindingan sembari melotot. Entah kepada siapa. Kepala-kepala itu seperti ingin menelanku. Di sudut itu, di pelataran parkir swalayan itu, di trotoar itu, di taman-taman itu berserakan bangkai-bangkai manusia. Tapi tunggu, kuingat-ingat dulu! Kelihatannya aku pernah kenal dan pernah akrab dengan daerah-daerah ini. Walau tidak begitu jelas, tapi ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyergapku. Ah, bukankah daerah-daerah itu bagian dari negeriku? Bagaimana mungkin, daerah yang dulu aman tenteram, subur, makmur sekarang berubah mengerikan? Tetapi tidak salah lagi.

Aku rindu dengan senyummu, dengan keramahanmu, dengan ketulusanmu. Itu dulu. Dan kapan lagi aku dapat menikmati pesonamu? Katakan padaku, kepada siapa kebencian ini harus kutumpahkan? Kepada mereka? Mereka siapa? Benarkah mereka? Rasanya kepalaku semakin berat menahan semua beban ini. Aku tak habis mengutuki penyebab peristiwa yang memilukan ini. Perlahan bayangan itu mengabur, menipis dan akhirnya lenyap sama sekali dari pandanganku. Seperti kabut. Aku tertegun di tempatku. Tapi belum habis keterkejutkanku terpampang fenomena lain di figura itu.

Perempuan-perempuan sintal silih berganti melintas. Cantik-cantik, dan terus terang kecantikan mereka sanggup membuat laki-laki takluk. Aku juga tidak munafik. Sebagai seorang lelaki aku bisa memberikan penilaian dari sudut pandangku. Kalau aku boleh jujur, perempuan-perempuan itu pasti kuberi nilai di atas depalan dalam skala sepuluh. Dan penilaianku bisa berubah drastis jika mereka memamerkan senyum, paha, dan dadanya. Buset, aku menahan liurku yang hampir kering.

Tubuh-tubuh mulus itu hanya dibalut pakaian-pakaian ala suku-suku primitif. Dengan kesekalannya yang begitu menonjol bahkan terkesan bahenol itu mengingatkan aku pada cerita-cerita ratu-ratu di pulau putri. Dan tidak perlu heran jika kehadirannya di sini disambut meriah oleh siapa saja. Tak terkecuali oleh para wartawan yang ingin sekedar membuat sensasi atau malah hanya menginginkan fose setengah telanjang perempuan-perempuan itu.

Berlenggak-lenggok seperti peragawati jempolan, perempuan-perempuan itu menuju ke salah sebuah rutan di ibukota. Lho?! Bukankah seharusnya mereka pergi ke hotel-hotel berbintang dan berkesan glamour dengan cafe dan diskotik-diskotik yang menjanjikan hiburan kelas tinggi? Mestinya aku merasa tidak perlu bersusah payah berpanas-panas hanya sekedar berkunjung ke penjara ini? Sekali lagi kepalaku mendadak berat sebelah. Bagaimana mungkin?

Sementara mereka dengan santai memasuki ruangan, eh diluar rutan terdengar teriakan-teriakan. Makin dekat makin keras makin banyak. Astaga! Kulihat beribu-ribu manusia memadati halaman rutan sambil berorasi. Spanduk-spanduk berisi kecaman, hujatan, dan caci maki menghiasi hiruk-pikuk mereka. Dalam kekalutanku sempat terlintas pikiran konyol. “Ah, kupikir tadi mereka para penggemar perempuan-perempuan itu. Ternyata mereka ‘bengak-bengok’ dengan berbagai tuntutan.

“Gantung!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun