Mohon tunggu...
Jeniffer Gracellia
Jeniffer Gracellia Mohon Tunggu... Lainnya - A lifelong learner

Menulis dari Kota Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menengok Kondisi para Pencari Suaka yang Tersesat di Indonesia, "bak Buah Simalakama"

20 Juni 2021   09:00 Diperbarui: 9 April 2022   06:48 2104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret para pencari suaka yang beraktivitas di trotor depan kantor UNHCR Jakarta | Foto diambil dari Kompas/Garry Lotulung

Salah seorang teman saya pada tahun 2018 berkesempatan untuk mengunjungi Rumah Detensi Imigrasi yang terletak di Kalideres, Jakarta Barat. Sebelum ditempatkan di gedung eks Kodim, sebelumnya para pencari suaka berada di rumah detensi ini. 

Teman saya menyatakan, bagaimana ia melihat rumah detensi saat itu yang sangat penuh dan para pencari suaka harus hidup berdempetan. Bahkan katanya, rumah detensi tersebut tidak jauh berbeda dengan penjara. Mereka yang tidak mendapatkan tempat terpaksa tinggal di trotoar jalanan menggunakan tenda camping ataupun beralasan tikar. 

Mereka yang berada di tempat penampungan maupun di trotoar jalanan mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses layanan kesehatan, pendidikan, sanitasi seperti air bersih ataupun kamar mandi yang layak, hingga kebutuhan sehari-hari seperti makanan. 

Sebelumnya para pencari suaka ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi, Kalideres | Foto diambil dari CNN/Adhi Wicaksono
Sebelumnya para pencari suaka ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi, Kalideres | Foto diambil dari CNN/Adhi Wicaksono

Bagai makan buah simalakama

Membahas mengenai kondisi para pencari suaka yang tersesat di Indonesia, saya akui contoh peribahasa "bagai makan buah simalakama"cocok untuk menjelaskannya. Di satu sisi, Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menampung mereka. 

Jujur saja, rasanya tidak sulit untuk menemukan masyarakat Indonesia sendiri, bahkan mereka yang hidup di sekitar kita, yang hidupnya pun serba kesulitan.

Data terakhir dari Badan Pusat Statistik pada September 2020 menemukan sebesar 27,55 juta masyarakat Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan, terus meningkat di tengah pandemi Covid-19. 

Tempat-tempat penampungan yang berada di tengah-tengah masyarakat pun kerap diprotes, misalnya warga Daan Mogot yang menolak keberadaan tempat penampungan tersebut karena dianggap menganggu aktifitas belajar anak-anak. Tepat di sebelah kamp memang terdapat sebuah sekolah.

Teman saya yang mengunjungi Rumah Detensi Imigrasi juga menyatakan, bagaimana trotoar sekitar yang ditinggali oleh para pencari suaka sangatlah kotor dan berantakan, menganggu masyarakat sekitar. Hal yang sama juga terjadi di depan kantor UNHCR Jakarta.

Di satu sisi lainnya, ini adalah permasalahan kemanusiaan. Tidak nyaman untuk melakukan adu nasib, siapa yang lebih sulit hidupnya apalagi dengan mereka yang rela melarikan diri ke antah-berantah. Dalam wawancara CNN (31/08/19) dengan Muhammad Nazaru yang berasal dari Afghanistan mengatakan bahwa: 

"kami juga tidak mau seperti ini. Jika saja negara kami aman, seperti Indonesia, kami tidak mungkin seperti ini. Seandainya Indonesia tidak aman, apa kalian tetap mau tinggal di Indonesia?". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun