Mohon tunggu...
epiaresih
epiaresih Mohon Tunggu... Freelancer - fresh graduate Jurnalistik UIN Alauddin Makassar

aktif sebagai reporter kampus LPM Washilah UIN Alauddin Makassar 2015-2019 anggota regional yukNgaji Makassar

Selanjutnya

Tutup

Film

Review: Banyolan Selepas Menonton "Dua Garis Biru"

4 Juni 2020   06:25 Diperbarui: 4 Juni 2020   06:40 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Dua garis Biru tidak menjadikan Dara (Zara JKT48) dan Bima (Angga Yunanda) cerewet, banyak berdialog untuk menegaskan sebuha pesan, meskipun konflik dalam film ini adalah hal tabuh dalam budaya ketimuran yang sangat dominan sebagai pelanggaran norma sosial di masyarakat.

Cerita meluncur melalui semiotika yang bertebaran, hebatnya tidak membuat dahi penonton berkerut berpikir terlalu jauh tentang maksud pesannya, layaknya adegan buah stroberi yang hancur diblender, untuk sebuah pemaknaan yang sederhana.

Sang sutradara lagi-lagi membuktikan kepiawaiannya dalam berkarya, Gina mampu membuat semua karakter dalam frame tampil dengan kuat tanpa sosok figuran biasa, nampak pada adegan para tetangga Bima dengan jelas berhasil merepresentasikan kehidupan kaum urban, dimana dalam konteks pernikahan dini yang sering kali menjadi bulan-bulanan dan korban norma asusila dan agama.

Sikap Asri Welas yang dengan humornya berhasil menggambarkan sikap kebanyakan masyarakat Indonesia ketika mengetahui adanya kehamilan dini dilingkungannya. Kompleks dengan adegan keterlibatan orang tua Dara dan Bima yang berbeda strata sosial menghadapi sebuah masalah menjadi sentuhan yang sempurna, Cut Mini dan Arswendy Bening Swara sebagai orang tua Bima, serta Lulu Tobing dan Dwi Sasongko sebagai orang tua Dara.

Meskipun di klaim sebagai film sex education, sama sekali tidak ada adegan kesuraman yang serius dan berarti ditonjolkan saat Dara dan Bima melampaui batas sebagai sepasang kekasih, hebatnya persoalan serius ini, disajikan dengan warna-warna yang detail dan lembut,yang memberi pesan kepada penonton bahwasanya harapan itu selalu ada untuk memperbaiki, dan tidak ada yang bisa menghakimi masa depan dengan kesalahan fatal seseorang.

Menampilkan konflik rumah tangga dari pernikahan dini, saat Dara dan Bima sedang ribut membicarakan masa depan mereka, Bima memutuskan untuk meninggalkan Dara dan kembali kerumah orang tuanya, membawa penonton bergeming memikirkan posisi Dara dan Bima yang harus memulai sesuatu hal yang amat serius diumur yang belia, dengan melihat frame dan potret rumah tangga dari pernikahan dini yang belum siap dengan segala biduk permasalahan dan pengambilan keputusan.

Secara keseluruhan memberikan pesan-pesan tersurat dan tersirat untuk para penonton, kita dibuat terbawa dengan alur cerita dan konflik yang dialami para karakter, karena konfliknya sangat relate bagi remaja dan orang tua.

Terkadang ada pesan yang sulit disampaikan, dan hanya mampu dijelaskan dengan bahasa visual, Dua Garis Biru sukses menyampaikan pesan tersebut yang selama ini dianggap tabuh dalam konteks norma masyarakat kita, namun diawal telah diberitahukan bahwa film ini akan menuai review tersendiri dari penulis dan klannya.

Saat-saat kami mulai membuka browser dan mengetik keyword untuk menonton bersama, penekanan terpenting dan perlu adalah melepaskan terlebih dahulu kacamata moralis konservatif yang ketimuran, dan meyakini bahwa film ini adalah upaya pencegahan batasan hubungan yang sehat dalam menjalin hubungan, dan sebagai penyadaran bahwa pendidikan seks yang komprehensif teramat penting. Sebab pemahaman seks adalah hakikat dari perjalanan mengenal diri sebagai manusia.

Film yang menarik, dari segi konflik disajikan dengan luar biasa apik, namun setelah menonton, diantara kami banyak yang mulai berkomentar layaknya netizen yang sedang online di kolom komentar sosial media, satu demi satu mengeluarkan suara, film ini tidak sebegitu sukses dibagian resolusi konflik walau terakui mencapai sukses yang takjim di bagian klimaks.

Pada bagian anti klimaks di ceritakan pilihan Dara dan Bima setelah bayi mekeka lahir, orang tua Dara memberi pilihan bayi tersebut diadopsi tante dan om Dara, agar mereka bisa melanjutkan pendidikan, sedang orang tua Bima yang sama sekali tidak setuju dengan penawaran tersebut, dan meminta agar Adam (bayi Dara dan Bima) diasuh sendiri oleh keluarga mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun