Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Anak, 'Sekolah Tinggi Kejahatan', dan Kita

27 Juni 2011   11:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:08 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh JEMIE SIMATUPANG SAHIBUL HIKAYAT, di Serdang Bedagai (Sumut) seorang anak laki-laki—yang tak saya sebutkan namanya—melakukan perbuatan cabul kepada teman perempuannya. Umur anak itu 11 tahun, sedangkan temannya—yang menjadi korban—5 tahun. Tahu anaknya dicabuli, orang tua korban berang. Ia lalu melaporkan kejadian ini ke polisi sektor setempat. Kasus diproses, Si Anak di visum. Tersangka (dalam tanda petik) dan orang tuanya juga sudah dipanggil. Pihak kepolisian, karena pertimbangan tersangka dan korban masih anak, lalu menyarankan perdamaian kepala dua belah pihak. Orang tua korban dan pelaku pun melakukan perundingan. Namun tak tercapai kesepakatan, pihak keluarga tersangka tak menyanggupi sejumlah uang yang diajukan korban. Pihak tersangka malah bilang, “Kalau harus bayar uang segitu, mending kita jumpa di pengadilan saja!” Orang tua korban jadi panas. Deadlock. Musyawarah tak mencapai damai. Orang tua korban lalu mencari bantuan hukum ke sebuah LSM anak di Medan. Nah, dari sinilah saya tahu duduk perkara kasus itu—karena saya kebetulan juga bekerja di LSM—yang suka diplesetikan orang: “Lembaga Suka Minta-minta (ya itu soal lain)—tersebut. Waktu itu orangtua korban ngotot agar si tersangka dipenjarakan saja—terlebih setelah melihat sikap kelurga pelaku yang tak bertanggungjawab. “Saya kesal. Cemana pun saya mau dia (tersangka) dipenjarakan saja. Seberat-beratnya!” kata Ibu Korban waktu itu. Saya mengerti kegusaran orang tua korban. Kita juga—sebagai orang tua—pastilah marah kalau saja anak kita mendapatkan perlakuan yang sama dari kawan sepermainannya. Tapi mau bagaimana: kalau misalnya tersangka ataupun pelakunya juga adalah seorang anak, bahkan baru berumur 11 tahun. Persoalannya menjadi dilematis—dilematis lagi perbuatan pelaku saya kira melampui batas, terkecuali kalau sekedar memukul atau mencuri mainan saja. Seorang anak tersangka ataupun pelaku kejahatan, dalam konteks ini, saya kira mestilah tak bisa dipandang sebagai pelaku murni selayaknya orang dewasa melakukan kejahatan. Ia belum memiliki konsern. Bahkan, ia bisa dikategorikan sebagai korban; paling tidak korban salah didik orang, keluarga, atau pun lingkungannya. Keluar dari kasus sebentar. Awal tahun lalu—sekira bulan Februari—Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan berkaitan dengan uji materil UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak [Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, dan Pasal 31 ayat (1) terhadap konstusi yang diajukan oleh KPAI dan PKPA. Permohonan ini dibuat karena menilai pasal-pasal yang ada dalam UU Pengadilan Anak tersebut bertentangan dengan semangat konstitusi—yang sangat melindungi anak. Juga—meminjam istilah populer SBY belakangan—keprihatinan terhadap banyaknya anak-anak yang dipenjara karena suatu kejahatan yang kadang sepele saja. Karenanya pemohon mengajukan batas minimal usia anak bisa diajukan ke persidangan pidana adalah 14 tahun. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian dari permohonan pemohon, salah satunya adalah soal batas usia seorang anak pelaku kejahatan yang awalnya 8 tahun (di UU Pengadilan Anak) menjadi 12 tahun—walaupun tak menjadi 14 tahun sebagaimana dimohonkan. Tentu kita menyambut gembira keputusan ini. Karena dengan begitu, asumsinya adalah semakin sedikit anak yang akan diajukan ke pengadilan pidana, sehingga semakin sedikit jugalah anak yang masuk penjara. Kembali ke kasus. Kepada orang tua korban kami mencoba membicarakan putusan MK ini. Kami katakan mau dipaksakan bagaimana pun, kasus ini nanti tak bisa diproses di pengadilan. Akhirnya kami sarankan untuk melakukan perdamaian lagi dengan keluarga tersangka, dan kali ini kami menghubungkan dengan Biro Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak setempat sebagai mediator. Syukur kemudian ada kemajuan, pihak keluarga korban dan pelaku akhirnya mencapai kata damai melalui musyawarah yang dilakukan kali ini. Ya, kalau saja paradigma perlindungan anak ada di kepala kita—juga khususnya di penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan pengacara)—boleh jadi tak ada lagi anak yang di penjara. Terlebih untuk kasus-kasus kecil seperti perkalahian antar kawan (seperti yang dialmi Raju dari Stabat yang sempat menghebohkan dunia hukum beberapa tahun yang lalu), pencurian sandal jepit, dan lain sebagainya. Untuk soal-soal kecil begitu, baiknya keluarga langsung turun tangan menyelesaikan dengan musyawarah. Dengan begitu bukan maksudnya pelaku tidak dihukum. Tetap dihukum. Hukumannya digantikan jenis lain: misalnya orang tua pelaku harus membayar sejumlah uang kepala korban, atau malah pelaku harus membersihkan (menyapu dan mengepel) rumah korban tiap hari selama tiga bulan tanpa digaji. Dengan begitu tentu rasa keadilan akan pulih kembali. Ini mungkin contoh kecil saja dengan apa yang disebut orang sebagai restoratif justice (keadilan restoratif). Keadilan restoratif bisa diartikan suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Dengan begitu semakin sedikit anak yang masuk ke penjara karena berkonflik dengan hukum. Bagaimana pun, penjara bukanlah tempat yang layak bagi anak. Bahkan banyak data yang menunjukkan seorang anak yang pernah dipenjara punya peluang besar untuk kembali melakukan kejahatan lagi—bahkan yang lebih besar dari kejahatan sebelumnya. Seorang anak yang masuk penjara gara-gara mencuri sendal jepit misalnya, keluar besar kemungkinan menjadi maling sepeda motor. Di dalam ternyata ia telah belajar banyak dari kawan-kawan senasib, bagaimana tekhnik mencuri; membuat kunci ganda, memainkan kunci T, menghidup motor dengan kawat, dan lain sebagainya. Tidak sampai di situ saja, ia juga bisa belajar bagaimana mengedarkan narkoba, membobol ATM, bahkan mungkin korupsi. Karena semua pelaku kejahatan ada di penjara. Wah, saya jadi ingat sebuah pendapat yang agak satir: PENJARA ADALAH SEKOLAH TINGGI KEJAHATAN—universitas kejahatan! Akankah kita membiarkan anak-anak generasi penerus bangsa ini belajar di kampus itu!? [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer. [caption id="attachment_116449" align="aligncenter" width="579" caption="Bagaimanapun penjara bukanlah tempat yang layak bagi anak (sumber:republika.co.id)"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun