Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lelaki Tua dan Kentongan

1 Agustus 2011   06:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:11 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_122335" align="aligncenter" width="641" caption="kesetiaan memang bisa bermacam-macam bentuknya! (sumber:abufarhat.wordpress.com)"][/caption]

Untuk orang-orang di daerah (yang katanya) tertinggal yang dilupakan dan terlupakan

Oleh JEMIE SIMATUPANG

DATANGNYA BULAN PUASA DI KAMPUNG KAMI selalu ditandai dengan suara kentongan dari rumah Tok Ipin. Penabuhnya tentu saja lelaki yang sudah berusia lebih dari 60 tahun itu. Kalau saja terdengar suara kentongan panjang pada malam hari di Bulan Syaban, yang ditutup dengan pukulan 5 kali, maka itu artinya besok orang-orang di kampung kami bolehlah memulai puasa ramadhan.

Tung…tung…tung…tung…tung…tung…

Tung! Tung! Tung! Tung! Tung!

Kentongan itu juga akan dipukulnya untuk membangunkan sahur, dengan akhir pukulan tiga, dan juga pertanda akan berbuka, dengan akhir pukulan yang sama.

Tung! Tung! Tung!

Entah sejak kapan bermula Tok Ipin mempunyai hak prerogatif untuk menandakan awal masuknya ramadhan itu. Ada yang bilang karena Tok Ipin bisa melihat datangnya hilal—yang menjadi tanda datangnya bulan Ramadhan. Memang pada saat akhir-akhir bulan Syaban, Tok Ipin akan pergi ke pantai, menyaksikan matahari terbenam, dan melihat terbitnya bulan yang mendakan ramadhan. Biasanya, bulan akan terlihat beberapa saat saja, sebelum hilang kembali. Dan orang-orang kampung tempat kami tinggal, tak seorang pun mempunyai keahlian ini, kecuali Tok Ipin.

Pulang dari pantai, biasanya Tok Ipin akan membunyikan kentongan yang terbuat dari kayu sentul itu. Atau seperti beberapa tahun yang lalu, ia tak memukulnya. Hilal belum nampak, katanya. Kentungan itu baru ditabuhnya besok malamnya.

Mendengar kentongan Tok Ipin, para suami akan berkata pada isterinya, “Buk, besok kita sudah bisa mulai bangun sahur!” dan Cek Minah warung kopi akan berkata, “Mulai besok saya tak membuka warung,” dan anak-anak akan berjingkrak-jingkrak tanda senang lalu menyulut meriam bambu mereka, menyambut kentungan Tok Ipin.

Dum!

Dum! Dum!

Dum! Dum! Dum!

Tok Ipin tinggal seorang diri di rumah—rumah yang lebih pantas di bilang gubuk, tapi kalau dibilang begitu, maka tak seorang pun sebenarnya mempunyai rumah di kampung kami, kecuali Kepala Kampung. Isterinya sudah lama meninggal. Anak-anaknya sudah berkeluarga semua, dan sekarang tinggal di kota. Sudah acap anaknya mengajak Tok Ipin untuk turut serta di kota, tapi Tok Ipin selalu menolak.

“Kalau saya ikut, siapa nanti yang akan memukul kentongan ini,” katanya mengelak.

“Nanti tiap mau puasa, bapak boleh pulang untuk memukul kentungan,” bujuk anaknya.

“Yah, saya pikir-pikir dulu sebulan ini,” kata Tok Ipin.

Anaknya itu pulang ke kota, ketika sebulan lagi datang. Tok Ipin kembali ke alasan klasiknya: “Siapa yang akan memukul kentongan ini ketika ramadhan nanti?” lalu tambahnya, “Apalagi Ramadhan tinggal hitungan minggu lagi datangnya.” Akhirnya, anak-anaknya pun menyerah. Tok Ipin tetap tinggal seorang diri di rumahnya, dari tahun ke tahun, dari puasa ke puasa.

***

Menjelang Ramadhan lagi.

Sepulang dari pantai melihat hilal, Tok Ipin bergegas pulang ke rumahnya. Terburu-buru. Wajahnya tampak pucat. Di jalan orang yang menyapanya, “Sudah nampak bulan, Tok?” tak dihiraukannya. Jalannya semakin cepat menelusuri jalan setapak yang menuju rumahnya.

Sesampai di rumah ia menuju ke kentongan yang tergantung di pohon jambu bol. Wajahnya terlihat semakin pucat saja. Ia keluarkan pemukul yang tersimpan di lobang kentongan. Ia memukul kentongan secara beruntun, pukulannya lemah, tak seperti biasa ketika masuk Ramadhan-Ramadhan sebelumnya. Dan seperti biasa, diakhiri dengan ketukan satu-satu …

Tung! Tung! Tung! Tung!

Kembali orang kampung kami bergembira menyambut kentongan Tok Ipin. Puasa datang lagi. Terimakasih Tuhan, kami disampaikan lagi di bulan penuh berkahmu ini, bathin mereka. Anak-anak juga bergembira, dan segera membunyikan meriam bambu yang sekarang sudah ditambah lagi dengan petasan—yang sudah mulai dijual di kota kecamatan yang jaraknya di tempuh dengan 4 jam berjalan kaki.

Tapi puasa pertama waktu itu, ada yang aneh—dan biasanya tak pernah terjadi. Tak seorang pun terbangun waktu sahur. Kesiangan. Bangun-bangun sudah pagi. Karenanya, sebagian orang-orang kampung tak berpuasa, karena tak sanggup, terlebih mereka bekerja sebagai nelayan, tetapi sebagian yang lain, tak menjadikan itu alasan, dan tetap saja berpuasa

“Kok nyenyak kali tidur semalam ya?” kata salah seorang dari mereka ketika mereka akan berangkat ke sawah.

“Iya, sampai kentongan Tok Ipin tak kita dengar,” jawab yang lain.

Setelah itu, aktivitas di kampung itu pun berjalan seperti biasanya. Yang petani pergi ke sawah, yang nelayan terpaksa hari itu membenarkan alat tangkap, karena sudah kesiangan. Ketika matahari makin condong ke barat ibu-ibu sibuk dengan aktifitas menyiapkan makanan untuk berbuka puasa.

Matahari tenggelam. Ayam-ayam sudah masuk ke kandang. Orang-orang sudah duduk di atas tikar mengelilingi makanan berbuka; kolak dan teh manis sudah mengepul-ngepul, siap untuk disantap. Tapi suara kentongan Tok Ipin belum terdengar. Bahkan hari sudah semakin gelap—walaupun tak seorang pun tahu itu sudah jam berapa, tak seorang pun di antara mereka mempunyai jam.

Orang-orang mulai curiga. Awalnya mereka berpandangan dengan anggota keluarga masing-masing, lalu mereka keluar ke rumah, dan berpandangan dengan anggota keluarga orang lain. Masing-masing mata mereka menyiratkan berbagai macam tanya.

“Kenapa kentongan itu belum berbunyi?”

“Ada apa dengan Tok Ipin?”

Seperti ada yang mengomando, semua mereka melangkah menuju Rumah Tok Ipin—yang memang berjauhan dari rumah orang-orang kampung lain. Seseorang berinisiatif mengambil sebatang pelepah kelapa kering, mengikat-ngikat daunnya, dan membakar ujungnya untuk dijadikan penerangan menyusuri jalan setapak penuh semak yang selalu dilalui oleh Tok Ipin.

Dari jauh, tampaklah Tok Ipin berdiri, memegang sesuatu di bawah pohon jambu bol, tempat di mana kentongannya diikat.

“Wah, rupanya baru mau dipukul, mungkin dia ketiduran,” kata seseorang.

“Tapi lihat, dia tak bergerak,” jawab yang lain.

Semakin dekat, semakin jelas, Tok Ipin memegang kayu pemukul kentongan di tangan kiri, sementara tangan kanannya memeluk badan kentongan. Benar ia tak bergerak—dan tampaknya kaku. Seseorang mendekat, dan memeriksa nafasnya.

“Ia sudah dipanggil Tuhan,” kata orang itu.

“Datang dan kembali kepada Tuhan,” gumam orang-orang.

Tok Ipin diangkat, dimasukkan ke rumahnya. Jenazahnya pun diurus. Sekarang orang baru sadar kalau Tok Ipin meninggal dari kemarin, waktu ia memukul kentongan tanda masuknya Ramadhan, sehingga ia tidak memukul kentongan waktu sahur tiba.

Juga tak seorang pun sadar, kentongan akhir masuk bulan Ramadhan Tok Ipin kemarin kurang satu pukulan.

Tung! [*]

Medan, 1 Agustus 2011

JEMIE SIMATUPANG rindu dengan suara kentongan Tok Ipin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun