Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kompasiana, Iklan Ketombe, dan Tatib

2 Juli 2011   07:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:00 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_117274" align="aligncenter" width="608" caption="Jadi ingat ospek, senior tak pernah salah. Bah! (karya Agus Suwage, sumber:flickr.com)"][/caption]

Karena itu juga saya tidak memilih melawan dengan menghapus postingan saya (seperti yang dilakukan beberapa teman: entah juga nanti) atau mogok menulis. Saya tetap menulis, dan sekali-kali menyindir, dan sekarang terang-terangan lagi mempersoalkan.

Oleh JEMIE SIMATUPANG

ADA KETOMBE IKLAN anti ketombe di konten kompasiana. Anti dandruff. Saya sendiri lebih suka menyebutnya sebagai: IKLAN KETOMBE. Cemana tidak? Iklan itu layaknya ketombe bikin sebagian kita (baca: kompasianer—bahkan bisa jadi pembaca biasa) gatal-gatal kepalanya. Apa pasal? Mengganggu secara estetika—bahkan di awal dulu bisa merusak paragraf.

Saya lalu bertanya: kok bisa ada iklan di konten kompasiana?

Kompasiana dan Iklan

Kompasiana adalah adalah sebuah Media Warga (Citizen Media). Tiap orang yang sudah terdaftar di media ini dapat mewartakan peristiwa, menyampaikan gagasan, serta menyalurkan aspirasi dalam bentuk tulisan, gambar, maupun rekaman audio dan video (sumber: Tentang Kompasiana)

Berbeda dengan media biasa (latah bilang: mainstream) kompasiana tidak memungut biaya bagi sesiapa yang mengaksesnya. Orang hanya perlu terhubung dengan koneksi internet lalu membuka kompasiana.com, untuk membaca semua konten yang ada. Begitu juga dengan kompasianer (orang yang punya akun di kompasiana), pihak pengelola tidak memberikan honor kepadanya (juga tidak menarik biaya), walaupun sebanyak apa konten yang ia posting di blog ini.

Persoalannya kemudian: dari mana kompasiana membiayai operasionalnya? Yah, tentu saja pertama-tama harus ada modal. Saya asumsikan modal awal itu diberikan oleh Kompas (ingat: ini asumsi saya), sebagai kakek dari kompasiana.com. Tapi tentu ini bukan hibah. Atau bukan CSR. Ini bisnis. Artinya kompasiana.com harus mengembalikan modal bahkan selanjutnya memberikan keuntungan bagi pemodal tersebut. Dari mana jalannya? Ya, tentu saja dari iklan. Jamak diketahui sebuah media bisa bertahan—bahkan besar—karena iklan yang dipasang produsen di laman-laman media mereka. Kalau mengharap dari harga jual media saja—artinya dari pengakses, pembaca—bisa jadi sudah banyak media pertumbangan sejak dulu. Dan pengelola kompasiana mau dan memang sangat mau memasang iklan juga di medianya yang memang menarik bagi orang banyak ini.

Tak ada yang salah dengan itu. Bahkan untuk majunya sebuah media (mainstream) sekarang bisa diukur dari sebanyak apa iklan yang ada pada media tersebut. Semakin banyak, semakin maju. Terlebih produsen yang mengiklan di media itu berasal dari perusahan-perusahaan besar dan ternama.

Dan kita sendiri tak bisa mengharap kompasiana tanpa iklan. Absurd itu. Pertama, tak ada donatur yang bisa membiayai terus-terusan tanpa meminta imbalan. Kedua, sejak awal kompasiana memang bisnis, bukan media merdeka independen nirlaba yang tak mengejar profit, laba, keuntungan, atau pun namanya. Jadi kalau kita masih mengharapkan tanpa iklan: buang jauh-jauh saja angan-angan itu.

Tatib dan Iklan Ketombe

Dalam hidup selalu saja ada hukumnya, ada aturan yang mengatur. Mau ngapain saja itu. Beli motor ada hukumnya, beli mobil juga. Bahkan kalau kita mau buang air besar kecil saja ada aturannya—kalau di toilet umum (di mal misalnya) malah harus bayar: Buang Air Besar Rp.1500,- Buang Air Kecil: Rp.1000,- Coba saja dilanggar, bisa dikejar-kejar Satpam. Bah! Apa sih yang tak ada aturannya di dunia ini.

Begitu juga di Kompasiana. Ada tata tertib (latah kita bilang: tatib) yang mengatur di sini. Segala aktifitas yang kita (pengelola dan pengguna) kompasiana lakukan haruslah berdasarkan tatib. Di kompasiana, tatib adalah berlaku selayak hukum bagi sesiapa saja yang mengaksesnya, termasuk pengelola. Mempublikasikan tulisan harus berdasarkan tatib, begitu juga mempostingkan gambar; tak boleh melanggar tatib. Jangan kecewa kalau sewaktu-waktu tulisan kita dihapus admin karena melanggar tatib: menulis konten pornografi misalnya.

Pun begitu juga kalau pihak pengelola hendak memasang iklan di kompasiana,tak boleh lari dari tata tertib (Tatib tersebut bisa di baca di sini: Tata Tertib Kompasiana)

Kita kembali ke awal tulisan ini. Soal iklan ketombe. Saya berpikir iklan ini telah melanggar (atau melampui) tatib kompasiana angka 18. Kalau tak percaya, mari kita periksa pasal tersebut (saya copy-pastekan pasalnya tanpa mengubah satu huruf dan angka pun):

18. Terkait Konten yang telah ditempatkan ke dalam sistem Kompasiana, Kompasianer mengizinkan Admin untuk:

  1. Menghapus tulisan, pesan dan atau komentar yang melanggar Ketentuan Layanan dengan atau tanpa pemberitahuan kepada yang bersangkutan.
  2. Menghapus Foto yang melanggar Ketentuan Layanan dan atau tidak mencantumkan sumber dan atau pemilik foto.
  3. Menempatkan Foto sebagai ilustrasi atau pelengkap tulisan untuk keperluan penayangan Headline (Tulisan Utama). Admin menjamin foto yang ditempatkan tidak bertentangan dengan Ketentuan Layanan foto seperti diatur dalam Ketentuan Layanan.
  4. Mengoreksi kekeliruan kode-kode HTML, termasuk mengoreksi penggunaan jenis huruf dan ukurannya, yang dapat mengganggu tampilan Konten maupun tampilan Kompasiana secara keseluruhan.
  5. Mengoreksi Judul, Isi, Tag, Jenis dan Kategori Tulisan.
  6. Mengubah waktu tayang Konten.

Lihatlah. Pasal ini mengatur soal batas-batas izin yang kita (kompasianer) berikan kepada pihak admin (pengelola) terhadap konten yang kita posting di kompasiana. Dari sekian banyak izin yang kita berikan, tak ada satu pun izin yang menyatakan: Memberikan izin kepada admin/pengelola memasukkan iklan di badan konten yang kompasianer posting di kompasiana. Artinya kemudian, iklan ketombe yang ada di konten selama ini melanggar tata tertib. Tidak sesuai aturan. Atau mungkin bisa dibilang: illegal.

Terlebih ketika dikaitkan dengan poin Lisensi Pengunaan. Pada angka 2 dikatakan: “Setiap Konten yang ditempatkan dan atau ditayangkan di Kompasiana menjadi milik orang yang menempatkan dan menayangkannya.” Lalu pada angka 4 yang menyatakan: Kompasiana mendapat izin untuk menawarkan penggunaan Konten ke pihak lain, namun penggunaannya tetap atas seizin pemilik Konten.Lihatlah kedudukan iklan ketombe dengan dua tatib di Lisensi Penggunaan ini. Pertanyaannya: adakah pihak kompasiana mendapatkan izin dari kita (kompasianer) untuk menggunakan konten yang konon diakui sebagai milik kita dipasangin iklan dari perusahaan anti ketombe? Saya sendiri tidak ada, entah kompasianer lain.

Ceritanya lain kalau semisal iklan dipasang di konten kompas.com, karena bagaimana pun juga semua materi yang ada di sana ada properti kompas.com, (saya rasa juga bukan milik jurnalisnya) sehingga untuk memasang iklan tak perlu minta izin sang empunya materi: wong milik sendiri, kok!

Memang pengelola berhak menggunakan konten yang kompasianer posting di kompasiana, tapi terbatas untuk promosi kompasiana, bukan promosi produk lain semisal produk anti ketombe yang ada sekarang (angka 4, Lisensi Penggunaan).

***

Ya, saya sudah menyampaikan keberatan ini dengan berbagai cara. Pertama di kolom komentar salah seorang admin, kedua saya membuat postingan yang isinya hampir serupa dengan postingan sekarang, ketiga melalui surat ke admin. Tapi satu pun belum terjawab. Bukan karena berangkat kebencian pada kompasiana, pengelola, ataupun admin, tapi semata-mata untuk mengajak: Ini loh kita punya tatib, mari kita ikuti. Selebihnya ya karena merasa saya adalah bagian dari kompasiana—walaupun mungkin tak masuk hitungan barangkali. Karena itu juga saya tidak memilih melawan dengan menghapus postingan saya (seperti yang dilakukan beberapa teman: entah juga nanti) atau mogok menulis. Saya tetap menulis, dan sekali-kali menyindir, dan sekarang terang-terangan lagi mempersoalkan.

Saya pikir tatib yang dibuat untuk dipatuhi bersama-sama, ya kompasianer, ya admin, ya pengelola, ya pemasang iklan, ya siapa saja yang berhubungan dengan kompasiana. Kalau tidak, tatib itu sama saja dengan hukum yang ada di Indonesia ini, ia hanya garang kepada rakyat (dalam hal ini kompasianer) tapi tak berdaya di hadapan penguasa (dalam hal ini admin/pengelola).

Jalan keluarnya gampang saja. Pertama buat saja pasal tambahan sebagai yang sering dilakukan di negeri ini, gonta-ganti hukum, tatib, demi memuluskan kepentingan pribadi, golongan, kelompok, pemodal, atau siapa pun namanya. Pasal itu berbunyi, misalnya: kompasianer mengijinkan pihak kompasiana meletakkan iklan di konten yang diposting di kompasiana (tentu saja dirumuskan dengan bahasa yang canggih). Lalu kuatkan lagi di Lisensi Penggunaan: konten yang diposting di kompasiana menjadi milik kompasiana sehingga dilarang menghapusnya.

Tapi kalau tak mau repot-repot, ya buat pasal sakti yang menjadi Angka (1) dan Angka (2) yang bunyinya: (1) ADMIN DAN PENGELOLA TAK PERNAH SALAH (2) APABILA ADMIN DAN PENGELOLA SALAH LIHAT ANGKA (1).

Gus Dur bilang, “Begitu saja kok repot!”

JEMIE SIMATUPANG kompasianer.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun