Mohon tunggu...
Jemi Kudiai
Jemi Kudiai Mohon Tunggu... -

veni, vedi,veci

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dunia Kecil Sebagai Jaringan Pemerintahan: Turunan atau Campuran?

6 Oktober 2014   11:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:13 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Analisis penguatan kapasitas kelembagaan pemerintahan dalam penyelengaraan tangung jawab negara kepada masyarakat”

Apa yang dirasakan generasi penerus bangsa hari ini tidaklah banyak perubahan, kondisinya tetap minim dalam melaksanakan amata suatu negara sebagai simbolitas. Penguatan kelembagaan pemerintahan di yakini dengan pandangan “Trias Politica” yang berkaitan sesuai fungsunya, disinilah kita kembali memahami dunia kecil sebagai sarana pemersatu, menjawab tantangan menjadi kenyataan masayarakat.

Itulah fakta singkronisasi tidak sejalan dengan suatu keharusan kehadiran negara karena masyarakat, pemerintahan sebagai sebuah struktur yang terikat dengan berbagai aturan mainnya dalam meberi pelayanan kepada masayarakt luas. Perumusan prencanaan, singkronisasi  fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun, fokus sebatas pembahasan konsentrasi pelaksanaan eksekutif (pemerintahan).  Enta mengapa tatan negara, pemerintahan telah diatur tingkatan dalam kekuasaan wilyah yang kecil dan wilayah yang besar.

Penguatan dari hubungan pemerintahan yang terdorong “stagnan” karena daerah lebih pada isu-isu primordialisme lebih menonjol pada tataran kekuasaan yang berujung pada dinasti kekuasaan. Pertanyaan mendasar adalah dunia kecil itu berawal dari manusia pribadi seseorang, keluarga, kelompok, beragam tentunya diakomodir sebagai rasa kemanusian, pemerintahan itu bukan suatu hal bagi sebuah kelompok tertentu. Sepantas nya milik campuran dan bukan suatu turunan sebagai ancaman kesatuan (dinasti).

Dalam Kehidupan soasial bermasyarakat, asal mula negara, pemerintahan secara sosiologi dan sejarah pemerintahannya telah jelas dalam pandangan diatas sebagai terdapat didalamnya eksploitasi yang lemah oleh yang kuat yang dapat dilihat dalam sejarah, jahu lebih fundamental dari pada yang terdapat dalam segala penjelasan pemerintahan itu adalah lanjutan proses pengaturan yang telah berkembang dengan sangat baik dalam keluarga oleh manyarakat yang lebih inklusif.

Hal tersebut pemerintahan politik ini adalah suatu bentuk pengaturan sosial tetapi bukan bentuk satu-satunya. Hal ini harus diingat benar bila kita mempertanyakan tentang asal mula pemerintahan (eksekutif). Pengaturan dan pengamatan adalah suatu yang universal. Masyarakat atau sosety berarti suatu sistem hubungan-hubungan yang diatur, sistem itu mungkin tidak resmi karena manusianya tidak memahami sistemnya, namun dukungan oleh rakyat, dan tidak dipusatkan tanpa badan-badan khusus, atau sistem itu mungkin sangat terorganisir, sehingga harapanya akan baik.

Pemerintahan politik identik dengan nepotisme atau dinasti, muncul kecemburuan solial  ketika pengaturan sosial diambil alih atau mulai dikatahui oleh suatu badan sosial dengan pemusatan proses untuk mengakomodir semua persoalan. Mula-mula bisnis pengaturan itu semata-mata persoalan keluarga. Untuk menghatrakan bahwa asal-mula  pemerintahan terletak pada kekuatan atau , di lindungi oleh adat kebiasaan kelompok yang termasuk dalam keluarga.

Harapan seperti itu, secara nyata hari ini adalah suatu keterpurukan sistem terlihat jelas, akan tetapi pentingnya melihat masalah seperti saat ini yang lebih melenceng dengan garapan suatu institusi atau kehadiran negara. Melihat beberapa masalah penting dengan berpatokan dan prioritas berantas kemiskinan, berantas kejahatan, disorganisasi keluarga akibat pertarungan politik, masalah generasi muda dalam masyarakat modern, mengatasi peperangan, pelangaran terhadap norma-norma masyarakt masalah kependudukan, masalah lingkungan hidup, birokrasi. Semua hal ini menjadi ketidak mampuan pemerintah dan kehadirang negara, menjadi masalah serius bagi generasi penerus bangsa hari ini.

Arah pragmatisme dalam penguatan kelembagaan adalah dengan mengedepankan rasa nasionalisme sebagai sesama anak bangsa. Ingin mempersatukan dan membangun negara harus pada pemikiran kontruktif terutama bagi para penguasa untuk di garis bawahi. Mengapa?, perkataan turunan itu dilihat sebagai masalah identik dengan kehadiran otonomi daerah, memunculkan dogma kehancuran sentimentasi pada perbedaan.

Oleh karenanya lebih menekankan sebagai bahan analisis sebagai perkataan “campran” lebih dipentingkan dalam kedudukan suatu pemerintahan yang idetik persatuan dan kesatuan bangsa terlihat jelas, Nampak, indah ibaratkan sebuah bunga melati dengan karakter yang beragam. Pokok permasalahan kemabali kepada sikap nasionalisme bukan etnonasionlisme atau kekeluargaan kembali kepada turunan kekekluargaan yang menciderai cita-cita negara dalam kedudukan, kekuasaan, kesejhtraan sosial masyarakat. Hal lebih penting adalah memandang dunia kecil dengan proses yang panjang, memahami dunia tidak dari dalam akan tetapi melihat dalam pandangan perubahan paradigma pemerintahan secarah menyeluruh “membangkitkan citra kemajuan Negara”. Sebagai sikap tiap individu untuk bertindak secara umum di hadapan publik.

Analisa lebih menarik kalau dalam “IL Principe”: Nicolo Machivelli. Dua Pandangan yang berbeda seperti “turunan dan campran”. Dalam pandangannya lebih melihat pada kondisi sebuah kerajaan berbeda dengan sebuah republik. Kekuasaan mempertahankan negara-negara yang diperintah oleh penguasa yang berasal dari suatu keluarga jahu lebih kecil dari pada negara-negara kerajaan. Menganalisa hal ini sebagai gagasan kritis terhadapa berbagai persoalan yang kita hadapi saat ini di Indonesia.

Pandangan tersebut memiliki suatu inspirasi sebagai daerah kerajaan yang tidak hanya memberikan sumbangsi pemikiran yang hebat kepada masyarakat. Misalnya seperti Karajaan Keraton Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Negara atau kerajaan memiliki lahan atau urusan agraria sebagai miliki kerajaan akan tetapi kebebasan dalam membangun ekonomi masayarakat dibebaskan sebegitu luas, artinya rasa kemanusiaan lebih maju dengan hal-lain yang harus bertele-tele mengurusi berkas persyaratan usaha menjadi sesuatu yang berbelit.

Dengang pemaknaan “campuran”, karena semua masyarakat dengan sukarela menganti pemimpin mereka, dengan harapan bahwa mendapatkan kehidupan yang lebih layak, maka harapan ini layak lebih berperan melawan para pemimpin mereka yang terdahulu. Namun selanjutnya mereka, seperti yang terbukti di sejarah, bukan menjadi lebih baik. Dengan kenyataan ini kita amati bahwa relevansinya jelas memaknai suatu tatanan hukum dalam ketidak adilan, lebih manusiawi bentuk kekuasaan.

Tentu gagasan ini dapat dilihat, proses penyelengaraan pemerintahan saat–saat seperti ini memiliki suatu kerancuan. Mengapa?, karena memahami dunia artinya kita telah dipersatukan dari bangsa-bangsa yang kecil menjadi sebuah bangsa yang besar yaitu bangsa Indonesia. Sebagai ide aspiratif serta kesadaran kontruktif maka pembenahan sistem ketatanegaraan lebih menjolkan ego-kedaeraan ketimbang  ego-keindonesiaan, kedua hal tersebut akibat rancunya aturan sistem ketata negaraan. Manifestasinya untuk pemersatu bangsa sebagai ideologi Negara (Pancasila, UU 1945), jelas menjadi terasing dalam benak penyelengara negara yang berkuasa untuk menjadikan perstuan dan kesatuan suatu hal yang mundur dari kenyataan masa lalu.

Kritikan dan aspirasinya bagi generasi yang begitu saja mengamati situasi seperti ini menjadi hal yang biasa, akan tetapi pemahaman dengan persoalan hukum sebagai rambu lalulintas saat kita mengendarai kendaraan selalu kita patuhi dengan baik. Sehingga kesadaran seperti inilah agar tidak individualis mengakibatkan kekuasaan didominasi oleh turunan, akan tetapi campuran lebih dipentingkan memajukan bangsa ini beragam di negara.

Sebagai harapan memahami Dunia Kecil Sebagai Jaringan Pemerintahan : Turunan atau Campuran, relevansinya adalah proses penguasaan dalam hal politik tidak terlepas dari urusan pemerintahan. Persoalan bangsa hari ini menjadi “PR” adalah kehadiran Otonomi Daerah hanya sebatas mebagi-bagi kekuasaan beroentasi pada kedudukan (nepotisme), seolah-olah negara kestuan republik Indonesia ibarat kegara Kerajaan. Apakah sistem tetap harus seperti itu ataukah kembali kepada keaslian UUD 1945 dan Pancasila (merefleksi).

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun